Ketika yang Tersisa Hanya Harap

Gelap. Aku tidak bisa melihat apa-apa disini. Aku terkurung dalam ruang sempit dengan posisi terbaring. Panjangnya hanya lebih sedikit dari ukuran tinggi badanku. Lebarnya pun tidak lebih dari satu meter. Ah, tempat apa ini? Aku sungguh sangat tersiksa.

Sungguh aneh. Ya, aneh. Sekelilingku terasa gelap namun aku masih bisa mencium bau bunga kamboja dan juga tanah basah. Siapa yang telah membawaku ke tempat seperti ini? Tidak punya sopan santun mereka. Apakah mereka tidak tahu bahwa aku adalah anak pengusaha terkenal di kota ini. Dan tidak lama lagi aku akan mengambil alih perusahaan ayahku. Aku berjanji akan membalas dengan setimpal orang-orang yang telah mengurungku disini. Kurang ajar!

Aku terus mengumpat. Sampai beberapa detik kemudian, aku melihat dua titik cahaya mendekatiku. Ah, sepertinya ada dua orang yang akan mengeluarkanku dari tempat buruk ini. Cahaya itu semakin mendekat.

 “Siapa kalian?” tanyaku setelah kulihat agak jelas dua sosok yang sudah ada di depan mataku. 

Aku seketika terheran. Ternyata dua titik cahaya yang kulihat tadi bukan lampu atau pelita. Cahaya itu adalah sinar yang keluar dari dua sosok makhluk yang mendekatiku. Keringat dingin mulai keluar dari pori-pori tubuhku.

Apakah ini mimpi?

“Malaikat,” jawab salah satu dari mereka dengan nada yang tidak bersahabat menurutku, kemudian memegang lengan kananku dengan sangat kasar. “Ayo, ikut!” bentaknya. Sosok yang satu lagi ikut memegangi lengan kiriku dengan cara yang sama.

“Tunggu! Jangan ngaco kalian. Malaikat tidak sekasar ini, ” seruku membela diri. Namun perlahan rasa takut mulai menggerogotiku. 

 “Ya, kami tidak akan kasar pada orang yang selama hidupnya selalu berbuat kebaikan. Untuk kau, kami akan bersikap sebaliknya,” jelasnya dengan nada yang tinggi. 

Selama hidup? Apa maksud dua makhluk yang mengaku Malaikat ini? Namun tidak sempat aku bertanya dan membela diri lagi, entah bagaimana caranya mereka membawaku terbang dan keluar dari tempat yang gelap ini. 

Rasa takut semakin menjalariku. Mereka memperlakukanku seperti Pedagang Kaki Lima yang dikejar dan ditangkap Polisi Pamong Praja. 

Dalam waktu sekejap, aku dan kedua makhluk itu sudah berada di depan sebuah gundukan tanah. Aku sangat terkejut saat kulihat namaku terukir jelas di permukaan sepotong papan yang tertancap di gundukan itu. 

“Ini, kan, nisan,” batinku.

“Iya. Kau sudah mati,” ucap makhluk yang ada di sisi kiriku seperti mendengar suara batinku.

Kini aku percaya mereka adalah Malaikat. Ya, mereka pasti Malaikat yang ditugasi Tuhan sebagai juru interogasi di alam kubur. 

Aku tiba-tiba tersadar. Aku tidak sedang bermimpi. Semua ini nyata. Aku berada di depan makamku dan diantara makam-makam lainnya di sebuah Taman Pemakaman Umum kotaku. Aku sudah meninggal. Ya, Tuhan.

Sekejap memoriku memutar kejadian kemarin malam. Aku akan menceritakannya. Kuharap kalian akan mendengarkannya sampai habis. Kuharap.

Kejadiannya seperti ini…

Sehari lagi aku akan menikah. Ya, sehari yang kumaksud adalah hari ini. Aku akan menikah dengan seorang wanita bernama Sishy. Sudah tiga tahun kami berpacaran. Tak ingin berlama-lama lagi, akhirnya kedua keluarga menyepakati pernikahan kami.

Aku akan melepas masa lajangku. Status di KTP-ku akan berganti. Ah, manis sekali. Bagaimana tidak, aku akan menikah dengan wanita yang kucintai. 

Karena itu, teman-temanku meminta agar diadakan semacam pesta untuk menandai akhir masa lajangku. Pesta sebelum akad nikah, katanya. Akhirnya malam itu pesta pun digelar. 

Beberapa botol minuman keras sudah siap. Aku berjanji itulah minuman terakhir yang akan kuteguk dalam hidupku. Besok aku akan menjadi seorang suami. Kelak pasti akan memiliki anak-anak. Alangkah tidak eloknya seorang pemimpin dalam keluarga memberi contoh yang buruk kepada anggota keluarganya. Seperti itulah pikiranku. Maka, biarlah kuteguk minuman yang sudah ada di depanku. Toh, ini yang terakhir kalinya.

Aku dan beberapa temanku mulai kehilangan kesadaran. Percakapan mulai kemana-mana. Tidak nyambung. 

“Ayo, kita balapan!” usul seorang dari mereka. Ini ide gila. Tapi kami memang selalu melakukannya dalam kondisi mabuk.

“Ayo!” seru yang lainnya hampir bersamaan. Lalu tawa pun pecah kembali.

Gila. Aku pun tidak bisa menolak. Toh, ini malam terakhir bersama mereka. Besok akan kutanggalkan segala macam kebiasaan mudaku.

Maka, kami pun menghampiri motor masing-masing. Akulah yang selalu menjadi jagoan. Mereka hanya menjadi pecundang saat menghadapiku. Tak ada yang mampu mengalahkanku saat kupacu motor sport milikku.

Dan sungguh balapan ini akan terjadi. Tidak peduli dalam keadaan mabuk. Aku justeru merasa adrenalinku terpacu dalam keadaan seperti ini. Aku tidak memedulikan kampanye safety first yang biasa dilakukan oleh polisi dan guru-guru sewaktu sekolah dulu. Jangan suka memacu motor dengan kecepatan tinggi di jalanan apalagi dalam keadaan mabuk. Ah, bagiku itu mitos belaka. Aku sudah terbiasa melakukannya. Aku sudah profesional. Ya, begitulah pikirku.

Tidak kurang dari sepuluh motor siap untuk beradu di jalanan kota malam itu. Kami memiliki lintasan sendiri yang tidak terlalu ramai oleh kendaraan agar motor bisa melaju sangat cepat.

“Siap!” seru seorang temanku yang juga sudah siap memacu motornya. 

“Siap!” Semua peserta balapan menjawab serentak. 

Dengan hitungan mundur, motor pun melaju. Dan benar saja, aku memulai start yang baik. Aku yang terdepan. Bukankah memang selalu begitu? 

Suara deru motor pun membuat jalanan menjadi berisik. Kami akan menempuh lintasan sepanjang satu kilometer. Kunikmati sensasi yang luar biasa. Aku pasti akan merindukan momen ini setelah menikah nanti, pikirku. Tanpa sadar, speedometer-ku menunjukkan kecepatan di atas seratus kilometer per jam. Ini luar biasa, bukan?

Aku masih memimpin ketika garis finish sudah di depan mata. Tidak lebih dari lima puluh meter lagi. Tapi entah dari mana datangnya, seorang pedagang bakso keliling mendorong gerobaknya. Ia akan menyeberang jalan. Sialan. Aku masih sempat mengumpat. Jarakku dengan pedagang bakso itu semakin dekat sementara laju motor masih sangat cepat. Aku kehilangan kendali. Kuinjak pedal rem namun semuanya sudah terlambat. Laju motor sulit untuk dihentikan. Dan akhirnya kecelakaan pun tidak terhindarkan lagi. Aku ingin menabrakkan motorku tepat pada gerobak bakso tapi diluar kendali, motorku justeru menabrak si empunya gerobak. Aku pun merasakan tubuhku melayang lalu terpelanting sangat jauh di atas aspal. Entah bagaimana dengan pedagang bakso yang kutabrak. 

Ingatan terakhirku adalah saat kulihat wajah teman-temanku yang panik. Lalu mereka mengangkat tubuhku beramai-ramai. Ya, sampai disitu saja hingga akhirnya aku merasakan ada yang menarik nyawaku dengan sangat kasar. Sangat kasar.

“Ikut dengan kami!” seru Malaikat yang memegangi lengan kananku. Membuatku kembali tersadar dari ingatan kemarin malam. 

Tanpa memberiku kesempatan untuk bicara, mereka langsung membawaku. Aku terbang bersama mereka. Entah kemana aku akan dibawa. 

Tiba di sebuah tempat, aku melihat beberapa orang berseragam sedang berbincang-bincang. Entah apa yang mereka bicarakan. Beberapa diantara mereka memiliki perut yang buncit dan juga berkumis tebal. Aku yakin ini kantor polisi. Mengapa Malaikat ini membawaku ke kantor polisi? Ingin memenjarakanku? Ah, tidak masuk akal.

Kedua Malaikat yang memegangi lenganku terus menuntunku berjalan ke salah satu sudut kantor polisi. Mereka lalu menunjukkan sesuatu yang ada di depanku sekarang. Wah! Yang benar saja. Aku melihat motor sport
-ku disana. Kondisinya rusak parah dan dibiarkan begitu saja diantara motor-motor yang serupa. Bisakah mereka tidak memperlakukan motorku seburuk itu? Walaupun sudah hancur, tetap saja itu motor kesayanganku. Harganya pun sangat mahal. 

“Cukup. Kau sudah melihat akibat keteledoranmu berkendara, kan?” kata Malaikat yang memegang lengan kiriku. “Sekarang kita ke tempat selanjutnya,” cetusnya.

Aku benar-benar ketakutan. Kedua Malaikat ini sangat tidak bersahabat. Padahal aku ingin mengenal nama mereka lalu meminta untuk mengembalikan kondisi motorku seperti semula. Kasihan aku melihat keadaannya sekarang. Tapi sudahlah, mereka sudah bilang tidak akan berlaku baik kepada orang yang semasa hidupnya selalu melakukan keburukan.

Entah kemana lagi mereka akan mengajakku jalan-jalan di malam hari ini. Aku tidak bisa menolak.

Kami berhenti di depan sebuah rumah mewah. Aku ingat. Ya, ini adalah rumahku. Kulihat bendera kuning berkibar di depannya. Kedua Malaikat itu menuntunku berjalan masuk ke dalam rumah. Sangat ramai. Banyak orang-orang sedang membaca ayat-ayat suci. 

Dan ketika mataku tertuju kepada ibuku, air mataku tidak tertahan lagi. Ternyata arwah pun bisa menitikkan air mata. Aku melihat ibuku menangis. Matanya mulai membengkak. Di sampingnya ayah menenangkannya. Ibu, Ayah, aku sangat rindu. 

Ingin sekali aku memeluk mereka tapi kedua Malaikat di sampingku tidak melonggarkan pegangannya di kedua lenganku. Bisa tidak mereka melepasku sebentar saja. 

“Kau lihat lagi akibat kelalaianmu di jalanan, Anak Muda,” seru Malaikat yang memegangi lengan kananku. “Sudah cukup. Kita ke tempat berikutnya!” lanjutnya.

Dalam sekejap aku sudah berada di sebuah ruangan. Aku sepertinya pernah kesini. Kedua Malaikat di sampingku menunjuk ke arah depan. Mereka menunjuk pintu. Kusempatkan melirik ke kiri dan kanan sampai akhirnya aku ingat bahwa ini adalah rumah Sishy. Dan yang ditunjuk Malaikat tadi adalah pintu kamar Sishy. Tanpa perlu memutar gagang pintu, aku dengan mudahnya masuk ke kamar Sishy dengan cara menembus pintu itu. 

Betapa tertohoknya hatiku ketika kulihat Sishy mengenakan gaun pengantin berwarna putih dengan air mata yang membasahi wajah cantiknya. Ke dua tangannya memegang sebuah bingkai foto.Ya, di dalamnya ada foto kami berdua. Ia sangat bersedih. Aku tidak sanggup melihat wajah cantiknya dibungkus kesedihan.

“Mana janjimu, mana? Kau justeru pergi di saat beberapa jam lagi kau akan sah menjadi suamiku. Seandainya saja kau tidak ugal-ugalan di jalanan. Ah, Aku sayang kamu, Bodoh,” kata Sishy menatap foto itu.

Ah, sungguh pedih kurasa. Sangat pedih. Maafkan aku, Sishy. Maafkan aku. Aku tidak bisa menepati semua janjiku. 

“Lihat itu!” seru Malaikat yang memegang lengan kiriku. “Karena kebodohanmu, orang yang sangat menyayangimu dirundung kesedihan. Kau lihat, kan, betapa cantiknya ia mengenakan gaun pengantin?” Malaikat ini menghakimiku. 

“Cukup. Kita pergi ke tempat berikutnya.” Kedua Malaikat ini hendak membawaku lagi entah kemana. 

Mereka tidak memikirkan perasaanku. Bisa tidak membiarkanku sebentar saja memeluk Sishy. Aku ingin menghapus air matanya lalu kubisikkan di telinganya bahwa aku sayang padanya. Tapi di antara Malaikat ini aku tidak bisa apa-apa. Aku menangis kembali.

Dengan kesedihan yang masih melebamkan hatiku, aku berada di sebuah jalan kecil daerah kumuh. Apa lagi maksud kedua Malaikat ini membawaku ke tempat kumuh? Perlahan mereka melepaskan peganganya di lenganku. Aku heran.

“Masuklah ke rumah itu,” kata Malaikat yang tadi memegang lengan kananku sambil menunjuk ke salah satu rumah yang sangat sederhana.

“Untuk apa?” batinku. Tapi, sudahlah. 

Aku melangkahkan kaki mendekati rumah yang ditunjuk Malaikat tadi. Pintunya terbuka. Aku masuk dan mendapati orang-orang yang sedang membaca ayat-ayat suci seperti di rumahku. Disana aku melihat seorang ibu memeluk dua anak kecil yang sedang menangis. Aku yakin itu pasti anaknya. 

“Silakan peluk mereka. Dari tadi kau ingin lepas dari pegangan kami, kan. Dan ingin memeluk orang yang kau sayangi.” Tiba-tiba saja ke dua Malaikat yang membawaku ada di kedua sisiku. Aku bingung. Apa maksudnya?

“Ya, peluk mereka. Kau akan merasakan kesedihan yang tak kalah dengan apa yang dirasakan orang tua dan kekasihmu. Kau tahu, mereka adalah istri dan anak pedagang bakso keliling yang kau tabrak akibat kegilaanmu mengendarai sepeda motor.” Salah satu Malaikat menjelaskan.

Dan bisakah kau bayangkan, bagaimana kagetnya aku mendengar ucapan Malaikat barusan? Jadi, pedagang bakso yang kutabrak malam itu meninggal juga? Ya, Tuhan. Ampuni aku.

“Bisakah kau bayangkan bagaimana kehidupan mereka selanjutnya? Siapa yang akan menanggung kehidupan mereka? Siapa?” Lagi dan lagi aku dihakimi oleh ke dua Malaikat ini. Mereka menyudutkanku dalam kesedihan yang tak terperikan. 

Cukup lama aku menyaksikan kesedihan keluarga tukang bakso keliling ini. Aku menunggu kedua Malaikat di sampingku untuk mengucapkan kata “cukup” seperti sebelumnya. Tapi mereka tidak juga mengucapkannya. Apakah mereka sengaja membiarkanku menikmati kesedihan keluarga kecil ini. Mereka sengaja membiarkanku melihat bulir demi bulir air mata yang jatuh disana. 

“Sudah cukup, Tuan Malaikat. Cukup!” kataku. Sungguh aku tidak kuasa lagi menyaksikan semua yang ada di depanku.

Kedua Malaikat di sampingku memandangiku lalu tersenyum sinis. Tiba-tiba saja yang kulihat hanya gelap. Aku kembali ke tempat semula yang kuyakini bahwa itu adalah lubang di bawah makamku. 

Aku diselimuti kesedihan yang tiada tara. Aku hanya bisa berharap orang tuaku bisa menerima kepergianku. Sishy bisa merelakanku hingga suatu saat menemukan kembali laki-laki yang jauh lebih baik dariku. Dan… iya, aku hanya bisa berharap semoga Tuhan mendengar doaku agar keluarga pedagang bakso yang kutabrak diberi rezeki untuk bisa meneruskan kehidupan mereka.

Baiklah, kau sudah mendengar kisahku ini. Semua sudah terjadi. Aku pun berharap agar kau tidak sepertiku. Berhati-hatilah di jalanan, Anak Muda. Biarlah aku yang merasakan ketika semuanya hanya menyisakan harap. 

Sudahlah, sekarang aku menunggu Malaikat datang menginterogasiku dalam gelap ini.

Blog post ini dibuat dalam rangka mengikuti Kompetisi Menulis Cerpen Tertib, Aman, dan Selamat Bersepeda Motor di Jalan.
#SafetyFirst Diselenggarakan oleh Yayasan Astra-Honda Motor dan Nulisbuku.com




Komentar

  1. Karija Casino - Kadangpintar
    Karija 온카지노 Casino - Best Online Casino in South Korea! Read septcasino reviews, view top bonuses, current deccasino promotions and play with real money.

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan Populer