Apa yang Lebih Menyedihkan Dari Penyesalan?
Mengapa ada penyesalan, hah?
Apa yang lebih menyedihkan dari penyesalan? Ya, saat itu kau tak mampu lagi memutar waktu. Kau kalah… kalah telak.
Apa yang bisa kau perbuat ketika dengan jelas keindahan yang selama ini kau agungkan perlahan dan pasti tertinggal jauh di belakang. Beruntunglah jika kau masih bisa menarik garis waktu itu kembali denganmu. Tapi jika tidak? Kau bisa apa? Bisa apa?
Bagaimana kau bisa berjalan tegak di tengah pertanyaan-pertanyaan orang di sekitarmu tentang masa-masa indah yang pernah kau ceritakan semalam suntuk? Berbohong? Lucu. Lantas sampai kapan kau bisa melakukannya? Sampai kapan? Sampai air mata dan senyum tak bisa lagi kau bedakan di wajahmu?
Apakah kau percaya pada perulangan? Omong kosong. Mungkin saja bisa, tapi apakah sedetail masa indah itu? Dengan keadaan yang sama atau… atau dengan orang yang sama. Bisakah?
Penyesalan. Sudahlah. Kata orang bijak, yang berlalu biarlah berlalu. Yakin? Semua memang sudah berlalu, tapi bagaimana dengan hatimu? Kau adalah manusia. Selain otakmu yang kecil, hatimu adalah tempat untuk menumpuk semua kejadian-kejadian lampau.
Di saat kau berkata tegar —tepatnya berpura-pura untuk tegar— hatimu diam-diam gerimis. Katamu, keadaan akan membaik. Besok atau lusa Tuhan akan mempertemukanmu dengan situasi dan orang-orang baru dalam hidupmu. Yakin mereka yang kau butuhkan?
Maaf, aku tidak bermaksud menggoyahkan keyakinanmu pada takdir. Tidak. Tapi apa perlu ada penyesalan untuk masa-masa yang indah. Maksudku, mengapa kemarin kau melukai kebaikan dalam hidupmu —entah itu keadaan, keluarga, atau bisa jadi seseorang— lantas besok kau tangisi sendiri.
Mungkin inilah jawaban mengapa penyesalan diciptakan. Entah. Sampai sekarang aku belum tahu.
Komentar
Posting Komentar