Perjalanan Kecil Kita
Kini
mimpi telah luruh, angan-angan jadi nyata dan penantian sudah terpenuhi.
Setelah melewati
permainan waktu dalam penantian yang cukup panjang akhirnya hatimu resmi
kumiliki. Detik ini menjadi detik monumental hadirnya satu ikatan di dunia;
tertambatnya dua hati pada komitmen-komitmen yang akan dijalani.
Ternyata sangat sulit
menembus dinding hatimu yang kadang keras dan kadang melunak. Cukup tertatih
aku dibuatnya seperti mendaki puncak tertinggi dengan sensasi yang berbeda. Sebelum
engkau membukakan pintu cinta itu, seingatku kau pernah menghempaskan harapanku
ke titik ―paling― nadir. Tapi aku enggan untuk mengenang kegagalan itu dan
tetap melanjutkan perjuangan dari niat awalku ―niat suci untuk memilikimu.
Dulu, kadang aku dibuat
semangat olehmu dan tak jarang pula dibuat pesimis oleh kata maupun sikapmu.
Tapi cinta ini membuatku tetap kokoh menahan gempuran yang maha dahsyat
bagaikan burung Ababil yang merajam bala tentara bergajah. Lika-liku perjuangan
itu memberikanku pelajaran yang teramat berharga untuk kupetik. Pelajaran untuk
tetap melanjutkan mimpi dan niat yang tulus ―hal yang paling mendasari aku
ingin memilikimu. Dan pada akhirnya semua itu berkolaborasi menjadi nyanyian
pemantik semangatku untuk tetap menyerahkan semuanya hanya untukmu.
Dan belum pernah ada
kegigihan dengan sentuhan doa yang tak mampu menembus dinding pertahan terakhir
mimpi-mimpi ―cepat atau lambat. Seperti butiran dan curahan hujan yang
perlahan-lahan mengikis kokohnya batu karang, hatimu perlahan melunak dan sudi
menengok pungguk yang merindukan cahaya bulan ini. Bagaikan ada angin yang
dengan lembat menyingkap awan-awan kumulus hingga muncullah langit biru penuh
keindahan, hatimu pun terbuka. Di titik itulah semangatku kian membuncah dan
tidak lagi meratapi kemungkinan-kemungkinan yang perih bila harus kuingat-ingat
sebelum tidur.
Doa-doa yang terus
terjaga dan berpilin menuju langit cinta akhirnya dimustajabahkan oleh pemilik
cinta yang hakiki. Pernahkah kau melihat kemarau akut yang mengakhiri penantian
panjangnya karena hujan telah datang menghapus dahaganya? Ya, seperti itulah
apa yang kurasakan ketika waktu itu mulutmu entah sadar atau tak sadar
mengucapkan kalimat yang mampu mengisi energi ke seluruh sudut-sudut tubuhku.
Kalimat itu sangat agung bagiku. Kalimat yang kurawat dan sesekali kutengok
ketika hatiku kering karena tak ada kabarmu seharian. Kalimat dahsyat itu
adalah, “Aku memberimu kesempatan.”
Bagaimana aku tidak
bergetar dengan semua itu? Itu adalah gempa terindah yang mengasyikkanku. Kubaca
berulang-ulang kalimat yang juga kau kirimkan lewat media sosial itu. Hanya
terdiri dari tiga kata yang membuat kalimat itu terus menghujaniku euforia yang
tak terperikan. Kemungkinan baru pun muncul dan mungkin tidak lama lagi menjadi
kepastian yang indah.
Perjuangan pun terasa
semakin menantang saja. Penantianku untukmu semakin memiliki kesan yang amat
berharga. Hingga pada suatu waktu kudapati harapan itu tidak lama lagi menjadi
kenyataan. Saat itu kau telah mempertanyakan kesiapanku. Jika siap maka aku
boleh mengungkapkan keinginanku secara langsung di hadapanmu. Namun entah
mengapa aku terdampar dalam suatu fase yang tidak seharusnya aku alami.
Langkahku perlahan surut. Ada bisikan untuk membuang mimpi ini jauh-jauh. Di
saat itu logika dan perasaanku beradu jotos untuk memenangkan keputusanku.
Logikaku terlalu kritis menyikapi mimpi-mimpi ini. Logikaku pesimis untuk
memberimu bahagia di saat bersamamu kelak. Namun hatiku berseberangan jauh
dengan pikiran-pikiran yang entah dari negeri mana mengunjungiku. Hatiku sudah
mantap untuk mendeklamasikan keinginanku untuk menjadi pasanganmu. Di saat
pergulatan antara hati dan logika itu, maka aku mempermainkan waktu untuk
mengungkapkan semuanya.
Hingga saatnya
kurundingkan semua ini pada Sang Pemilik Cinta. Kukirim doa termanisku seperti
istikharah di saat seseorang menemui jalan buntu. Tidak butuh waktu lama
bagiNya menjawab pintaku, akhirnya hati dan logika pun berdamai. Logikaku
mengikuti apa kata hatiku. Dan di saat itu aku tersadar bahwa niatku masih suci
untu memilikimu. Niat yang didengar Ilahi dan akhirnya dikabulkan.
Tepat pada suatu malam
akhirnya kuberanikan mulut yang awalnya kelu untuk megungkap keinginanku. Dan
akhirnya perjuangan mimpi-mimpiku telah luruh dan tertangkup dengan indah di
tempat ini. Kau mengiyakan dan menerimaku dengan penuh bahagia. Kini akhirnya
tugas kita adalah menjaga rajutan cinta ini. Seperti harapmu dan harapku yang
ingin mengakhirinya di pelaminan beberapa tahun ke depan.
Maka perjuangan baru pun
dimulai.
Komentar
Posting Komentar