Kapan Aku Bisa Menghalalkanmu?

Jika saja menikah semudah persoalan menarik nafas di pagi hari, tentu aku sudah mengkhitbahmu di depan ayah dan ibumu. Lalu menentukan hari untuk walimatul ‘ursy entah beberapa pekan setelahnya. Tapi kau harus tahu, selain sakral, menikah juga berbau materialistis di tanah kita. Ah, kau tentu mafhum perkara ini.

Aku pun sudah jenuh mencintaimu dalam diam. Dan kau pun begitu. Iya, kan? Sudahlah, aku sudah terbiasa membaca perasaan seseorang. Kita tidak pernah saling melemparkan kata sayang seperti ABG tanggung di luar sana. Tapi, pujian yang sempat terlontar dari masing-masing mulut kita adalah cara kita berlindung dari ngerinya kehilangan. 

Aku tahu, kau teramat hati-hati menjaga perasaanmu lantaran takut kebablasan dan kena murka Tuhan. Aku pun seperti itu. Kita justeru saling menjaga lewat doa-doa. Dan entah berapa puisi yang sudah kubuat untukmu. Aku berjanji akan memperlihatkanmu puisi-puisi itu ketika kau menjadi istriku kelak—jika memang kau yang dikehendaki untukku.

Meski sering kusampaikan kepada Tuhan bahwa aku siap dengan segala kemungkinan. Tidak denganmu sekalipun aku ikhlas. Tapi bagaimana pun caranya aku menyampaikannya, aku selalu tidak yakin dengan munajatku itu. Aku hanya ingin bersamamu. Sekali lagi, aku hanya ingin bersamamu. Aku tahu, kau pun demikian.

Aku mengerti, bahwa sebagai perempuan kau hanya bisa menunggu. Menanti dengan sabar kabar baik dariku sembari cemas kalau-kalau besok ada kolega ayahmu yang datang dengan maksud ingin melamarmu. Kumohon katakanlah, “Aku hanya ingin bersamamu.” Terima kasih.

Tapi kau pun harus mengerti, bahwa dengan kemampuanku saat ini, nampaknya sangat mustahil segera bersanding denganmu memakai baju bodo di atas pelaminan. Pekerjaanku … ah kau tentunya sudah tahu, apa yang kujalani sekarang belum bisa menjawab banyak hal dalam hidup. Apatah lagi menjaminmu agar tidak kelaparan dan kekurangan sesuatu apa pun. Namun kita mesti haqqul yaqin, bahwa Tuhan akan memberi jalan yang terbaik.

Kapan aku bisa menghalalkanmu? Sampai detik ini aku belum bisa memastikan. Aku hanya bisa menggenggam erat-erat perasaanku. Merindukan momen-momen kebersamaan yang mengharu biru dan tentunya yang diridhai olehNya.

Tapi, tunggu dulu…. Aku terlalu serius berbicara perihal rencana menghalalkanmu. Padahal…. Iya, padahal aku belum tahu “kau” itu siapa. Rupamu? Suaramu? Medsosmu? Tempat tinggalmu? Ah, ternyata kepalaku hanya dipenuhi hayalan tentang seseorang yang entah siapa saat menulis semua ini. Mungkin karena kebiasaan burukku yang rutin menghabiskan sekurangnya setengah jam memikirkan sesuatu yang aneh-aneh sebelum tidur. Syukurlah.

Januari 2016


Komentar

  1. Wah lama tak berkunjung ke blog ini. Tulisan2nya makin galauhh rupanya. Ups

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan Populer