CITA-CITA UNTUK AYAH DAN IBU
Pintu ditutup. Di dalam
ruangan ini ketegangan menyelimuti empat jiwa manusia. Termasuk aku yang telah
berpakaian rapi. Kemeja putih dan celana kain hitam. Ditambah aksesoris sebuah
dasi hitam. Sungguh tampannya diriku hari ini. Sangat eksekutif nampakanya.
Namun semua itu belum mampu mengusir segala kemungkinan-kemungkinan terburuk
yang sedari tadi malam memasung pikiranku.
Hari ini akan menjadi
sejarah dimana aku akan mempertahankan apa yang akan aku lakukan. Hari ini
menjadi monumen ketegasan sebuah prinsip yang harus dijalani. Ya, di depan
dosen dewan penguji proposal penelitianku akan ditelanjangi oleh mereka. Hari
ini adalah seminar proposal untukku dan di ruangan ini suhu 18 derajat dari
pendingin ruangan masih ragu-ragu untuk mendinginkan panas tegangnya
perasaanku.
Pukul 10.00. Pentas ini
dimulai.
Drama yang menegangkan
akan tersaji beberapa ratus menit ke depan karena ada aku dan tiga orang
temanku yang akan dibantai di kursi
pesakitan ini. Aku mendapat giliran terakhir untuk mempresentasikan proposal
penelitianku. Aku menoleh ke tiga temanku dan alhasil tidak ada diantara mereka
yang menampakkan senyum cerianya. Semua wajah mereka tertekuk bak seekor ikan
yang dikhianati laut selama satu hari. Tegang dan kaku. Itulah representasi
dari apa yang tengah menghujam perasaan mereka. Jantung pun berdetak di luar
batas normalnya. Jika digabungkan maka detakan jantung kami tak ubahnya suara
beduk memasuki waktu shalat maghrib.
Di hadapan kami dewan
penguji siap memangsa kami. Mereka seperti musang kelaparan dihadapkan kepada
anak-anak ayam yang segar-segar lagi montok. Tapi kita lihat saja apa yang akan
terjadi selanjutnya.
Sementara menunggu
giliran untuk mempertanggungjawabkan isi dari bundelan proposal penelitian ini,
di pelupuk mataku terbayang beberapa wajah yang menitipkan harapannya di
pundakku. Wajah ibu dengan segala keteduhan yang tersirat di dalamnya. Aku
melihat air matanya mengalir membasahi pipinya yang tak kencang lagi karena
telah digerus waktu dalam perjuangan keras untukku. Karena aku, seorang wanita
yang mulia rela mengkhianati kodratnya sebagai perempuan. Wanita semulia dia
yang tanpa pendidikan memadai seharusnya cukup berada di rumah saja mengurus
keperluan rumah tangga. Tapi apa, ibuku adalah wanita super yang rela
mewakafkan dirinya untuk ikut membanting tulang bersama ayahku. Sawah dan kebun
menjadi sahabatnya. Tak peduli terik dan hujan tubuh kecilnya terus bekerja.
Sekalipun tak pernah terucap dari mulutnya, aku tahu kelelahan telah
menggerogotinya.
Wajah ibu perlahan
tersenyum. Senyum penuh keindahan. Dan seakan seperti slide power point wajah ibu terganti dengan wajah ayahku. Kulihat
wajahnya yang semakin menua dan menghitam. Bukan. Bukan karena umur yang telah
menyulap wajah tampannya seperti saat ini. Tapi karena kerasnya batu kehidupan
yang dia lalui. Semua itu demi memperjuangkan perjalananku sebagai musafir ilmu
di tanah orang. Tak ada kata waktu di dalam kamus hidupnya. Kadang siang menjadi malam ataupun sebaliknya.
Betapa gagahnya lelaki
ini menghadapi hujaman pedih perih kehidupan. Dia bukan pegawai atau pengusaha
yang dengan mudah mengumpulkan koin demi koin atau lembaran demi lembaran
rupiah. Tapi di mataku dialah ayah nomor wahid di dunia. Aku teringat suatu
malam dimana tidak lama lagi awan siap memuntahkan hujan, aku berdiri tepat di
depan pintu rumah memandanginya yang bersiap menuju empang kecil keluarga kami.
Aku menatap punggungnya hingga hilang ditelan gelap malam yang angkuh. Di harus
berjalan di atas kerikil dan tanah becek dengan jarak yang jauh dan hanya
ditemani sedikit cahaya senternya. Hatiku pilu saat itu. Hatiku menangis dan
lebam dihantam perasaan kasihan yang terlampau amat dalam tak terperikan. “Ya Allah, anugerahilah Surga untuknya”
Dan di ruangan ini
kucoba untuk mantapkan keyakinan. Keyakinan untuk membuat kedua manusia mulia
itu merasakan keindahan dunia di hari tua mereka nanti yang tak pernah mereka
rasakan sebelumnya. Meski ‘tak mampu membalas setiap senti apa yang telah
mereka perjuangkan, meski ‘tak mampu membalas setiap air mata dan keringat yang
tercucur dalam doa dan usaha mereka aku siap menggempur masa depan.
Dan lihatlah, tiba
giliranku mempresentasikan proposal penelitianku. Aku ‘tak gentar lagi meski
serigala-serigala di hadapanku siap memangsaku mentah-mentah di kandangnya ini.
Berjuta harapan orang tuaku yang kupikul saat ini menjadi lentera menghadapi
masa depan. Dan aku tahu di ruangan ini apa yang kulakukan akan menjadi saksi
sebuah proses untuk menggapai sebuah permata di masa datang.
Allah akan selalu
bersama orang-orang yang selalu mengingat dan meminta kepadaNya. Lihatlah apa
yang terjadi. Jika tadi dewan penguji bagaikan musang-musang kelaparan yang
melihat anak-anak ayam di hadapannya dan siap memangsanya, kini semua berubah.
Mereka berubah menjadi musang bijak yang seakan-akan menepuk-nepuk dan membelai
anak ayam tersebut dengan petuah-petuah atau saran yang membangun.
Tak ada pembantaian
empat anak manusia di ruangan yang sering membuat beberapa mahasiswa
seolah-olah ingin membuat hajat kecil sebelum memasukinya. Hanya ada lantunan
syahdu saran-saran dari mulut-mulut penguji yang kadar ilmunya sudah tidak
diragukan lagi.
Subhanallah. Dan mimpi-mimpiku
pun terpelesat jauh ke haribaan cahaya masa depan. Aku siap mendulang
kebahagiaan untuk membuktikan betapa besarnya sayangku kepada kedua orang
tuaku.
“Ya
Allah, ridhailah jalanku ini, buatlah titian yang indah menuju gerbang
kebahagiaan. Dan atas kekuasaanMu, wujudkanlah cita-citaku demi bakti kedua orang yang kusayangi. Amiiin”
Komentar
Posting Komentar