MOZAIK CINTA DI MUSIM HUJAN
Hujan belum reda.
Sudah seminggu hujan mengguyur
Makassar dengan derasnya. Tetesan-tetesan itu tak pernah mengenal waktu untuk
terus membasahi Kota Daeng ini, hingga membuat beberapa tempat tenggelam oleh
banjir hasil karya hujan yang deras ini. Selama itu pula aku lebih memilih
untuk menjebak diri di dalam kamar kost ukuran 4×4 meter ini.
Bahkan untuk melangkahkan kaki ke
kampus ku di Parang Tambung aku sangat malas. Tercatat, selama 5 hari
efektif kuliah, sudah 3 hari aku absen. Terkadang karena sebuah faktor
tertentu seseorang lupa akan kewajibannya. Namun tahukah kau Kawan, bukan
karena hanya hujan saja yang membuatku malas untuk ngampus, melainkan
ada faktor lain yang membuat sistem koordinasi dalam tubuhku bersatu untuk
membuatku malas melihat kampusku lagi. Hatiku yang luka mengisyaratkan kepada
pikiranku agar ‘tak bertemu dengan sang pembuat luka hatiku itu. Akhirnya
mataku pun setuju untuk membencinya dan ‘tak ingin melihatnya secara langsung
di depanku.
Betapa bodohnya aku, hanya karena masalah seperti itu membuatku melupakan
kepercayaan dari orang tuaku.
Cahaya lampu neon 25 watt tak mampu
menjadi pencerah kamarku ini, apalagi untuk menyinari hati yang sudah gelap
akan kebencian padanya. Suhu yang semakin turun ini tak mampu menyejukkan
hatiku dari panasnya rasa ingin membalasnya. Namun ingatlah balas dendam
‘tak kan mampu merubah segalanya. Kadang kudengar bisikan itu yang membuat
sedikit rasa benciku tertepikan. Oh, aku harus bagaimana?
Dewi pacarku, oh bukan lagi pacar
tapi mantan pacarku. Dia telah menjebloskanku dalam penjara kehancuran lalu
mencincang-cincang seluruh bagian tubuhku yang sudah ‘tak berdaya lagi. Sungguh
mengerikan. Baru kali ini kurasakan perih yang benar-benar menusuk hingga tepat
di tengah jantungku. Dia lah wanita yang berhak mendapatkan award
karena dia adalah yang pertama mampu meluluhlantahkan hatiku hingga
berkeping-keping. Nyaris dengan nilai seratus ia sukses melukaiku. Sempurna.
Dia teman satu fakultasku di kampus
Parang Tambung. Dia memang adalah idola di kampus khususnya di fakultasku. Dia
dikenal karena kemolekannya. Namun ternyata di balik kemolekannya itu tersimpan
bisa yang susah untuk dicari penawarnya. Dia adalah mawar berduri landak yang
jika sudah tertusuk kau ‘tak mampu lagi berbuat apa-apa selain membenci dan
menyesali mengapa harus dia yang kaupilih temani hari-harimu.
Lewat memori di otakku, masih
kuingat dengan jelas apa yang telah ia lakukan padaku. Belum ada satupun data
yang hilang dari pikiranku akan luka yang ditorehkannya dalam-dalam. Dan
mungkin dia memang sengaja untuk membuat luka yang berkesan kepada aku
korbannya.
“Kita putus. Kau tak berarti
apa-apa untukku. Kau hanya pelarianku. Mumpung aku memang sendiri terpaksa dulu
aku terima kamu. Aku kira kau bisa kumanfaatkan, namun ternyata kau hanyalah
cowok gembel. Tidak punya apa-apa. Miskin!!”
Salah satu khotbah perpisahannya
itu adalah sekian dari banyaknya kata-kata perih yang ia lontarkan di saat kami
akan putus. Bagaimanakah pendapatmu Kawan? Sangat menyedihkan, bukan? Di saat
itu, aku sebagai orang yang benar-benar sangat menyayanginya ‘tak mampu berkata
apa-apa. Tidak ada angin, tidak ada hujan dia tiba-tiba saja mendatangiku di
saat aku tengah asyiknya bercerita dengan teman-temanku. Aku merasa
dipermalukan, bukan karena dia menyebutku sebagai gembel –karena memang aku
adalah gembel− tapi karena yang sedang aku bicarakan bersama teman-temanku itu
adalah tentang dia. Tentang rencananya akan mempertemukan aku dengan orang
tuanya yang akan datang dari Banjarmasin. Tentang indahnya hari-hari yang aku
jalani bersamanya selama 5 bulan ini. Sampai- sampai teman-temanku iri
mendengar ceritaku itu. Tapi tanpa kuduga, di luar batas kuasaku dia
menyergapku tanpa ampun lalu membantaiku tanpa perasaan di saat dia sedang
kubanggakan di tengah-tengah temanku.
“Kau ‘tak pantas untuk aku. Kau
bukan pacar yang sepadan dengan aku. Aku sudah menemukan cowok lain. Namanya
Indra. Dan tahukah kau, aku sudah satu bulan jalan dengannya. Itu artinya kau
kuduakan. Kau aku selingkuhi, gembel.”
Astaghfirullah! Sejenak aku
bagaikan tertimpa langit yang jatuh ke bumi. ‘Kau tak pantas untukku’, bagaikan
sebuah belati yang dia tusukkan ke jantungku. ‘Aku sudah menemukan cowok lain.
Namanya Indra,’ bagaikan kobaran api yang kemudian dia masukkan aku ke
dalamnya. ‘Itu artinya kau kuduakan. Kau kuselingkuhi, gembel,’ dan kata-kata
itu puncak dari segalanya. Bagaikan Malaikat yang dia perintahkan untuk
mencabut nyawaku. Siapapun yang mendengar kata-kata itu akan mersakan bagaikan
menelan serpihan kaca yang tajam. Aku terpaku. Aku terjatuh, namun bukan ragaku
yang jatuh, melainkan hati dan perasaanku.
Jujur, aku adalah orang yang sangat
benci dengan air mata. Namun kali ini, karena masalah ini aku termakan oleh
kebencian itu sendiri. Perlahan-lahan air mataku terjatuh. Cengeng. Dramatis.
Apalah istilahnya, aku ‘tak mau tahu. Aku tetap membiarkan air mataku terjatuh.
Mengapa tidak? Aku ‘tak mampu menahannya karena ribuan kata-kata manisnya
terbayang di pikiranku. Janji-janjinya, harapan-harapannya. Semua berkumpul
menjadi satu berkolaborasi dengan baik hingga menciptakan simfoni penghancur
jiwa.
“Sayang, setahun lagi, kan kita
udah selesai kuliah. Kalau sudah selesai, kamu cari kerja. Abis itu lamar aku,
ya? Aku tidak mau kalau bukan kamu yang jadi imamku,” katanya manja saat
bersamaku sehari sebelum tragedi itu meletus.
Penghianat! Ternyata di dunia ini
ada seorang wanita yang jadi tukang pengumbar janji. Tukang gombal. Semuanya
hancur kurasakan tak terperikan. Dalam hatiku mulai detik ini kuproklamirkan
bahwa kecantikan adalah bencana besar dari seorang wanita. Akal sehatku tahu
bahwa semuanya tidaklah seperti statement yang aku keluarkan itu.
Namun karena ulah Dewi yang cantik itu, kecantikan telah cedera di mataku,
karena satu prinsipku yang selalu kugunakan dalam kisah cintaku yaitu “Tak ada
toleransi bagi sang penghianat.”
Hari ini hari Senin, hujan masih
mengguyur Makassar tanpa pengertian. Padahal jam sudah menunjukkan pukul 07.45.
Itu artinya aku harus cepat- cepat ke kampus karena hari ini Pak Surya akan
mengadakan final untuk mata kuliahnya. Perlahan kutepiskan dalam ingatanku luka
itu, kugantikan dengan ingatan tentang orang tuaku nun jauh di Luwu sana yang
‘tak kenal lelah untuk mencari lembaran rupiah demi kelangsunganku kuliah di universitas
negeri ini. Maafkan aku, Ma. Sudah tiga hari ini aku absen hanya gara-gara
urusan cinta yang bukan menjadi tujuanmu menyekolahkanku sampai ke Makassar.
Perlahan kutata hati ini, meskipun
akhirnya harus melihat cewek itu lagi di kampus sambil melempar senyuman
kemenanagan atas rencana busuknya selama ini. Kuyakinkan dalam hati bahwa dia
bukanlah akhir dari segalanya. Seluruh perkataannya yang telah melukai hatiku
harus kukubur dan kuganti dengan kalimat-kalimat yang akan menyelamatkanku dari
nilai error finalku hari ini. Namun semuanya itu sia-sia, setelah aku
melihatnya luka itu kembali tumbuh mekar bagaikan benih yang disebarkan di atas
tanah gembur. Memang teori asmara yang menyatakan bahwa ‘luka itu akan semakin
terasa jika kita melihat lagi sosok orang yang telah mematahkan sayap cinta
kita’, tak mampu aku elakkan saat ini.
Apalagi saat pulang kuliah, dengan
sengaja Dewi menampakkan kemesraannya bersama pacarnya. Itu adalah pertama
kalinya aku melihatnya dengan pacar barunya itu. Dan memang jika diamati aku
tertinggal jauh dibelakang cowok itu dari segi apapun. Darahku terasa mendidih.
Kebencianku pun telah sampai di ubun-ubunku. Ingin rasanya aku menghajar pria
itu habis-habisan. Tidak! Aku ingat perkataanku dulu, aku ‘tak akan mengotori
tanganku hanya karena masalah seperti ini. Aku tidak akan menciptakan masalah
hanya karena maslah wanita. Karena hal itu akan lebih jelas menggambarkan bahwa
aku sangat tidak terima dengan kekalahanku. Ridwan, sahabatku pun juga tetap
tenang di sampingku melihat pemandangan yang menjadi lambang kehancuranku.
Padahal Ridwan adalah sosok yang kutahu sangat keras dan memiliki solidaritas
yang sangat tinggi, yang ‘tak permah rela melihat sahabatnya terluka. Padahal
Ridwan tahu betapa lukanya jiwaku ini.
“Tak usahlah kita mendendam untuk
masalah seperti ini. Ini hanya akan melahirkan perkelahian yang sia-sia,”
katanya. Sekilas aku ‘tak menemukan sosok Ridwan yang sangat kukenali. Atau
apakah ini memang wujud asli dari makhkuk ini?
Semuanya hancur! Sangat hancur!
Hujan belum reda juga. Namun dengan
akal yang tidak sehat lagi kutembus tetesan-tetesan itu agar bisa dengan cepat
tiba di kostku. Di dalam kamar yang hanya terdapat satu buah kasur dan dua
bantalnya, rice cooker dan dispenser ini kuadukan sialnya
kisahku hari ini. Lebamnya hatiku yang terkoyak-koyak semakin terasa perihnya.
Mengapa aku secengeng ini? Aku benci kisah ini!
Malam telah datang. Tuhan pun
enggan untuk menitahkan hujan agar segera berhenti mengguyur Makassar. Aku
hanyut bersama hujan yang menjadi sahabatku seminggu terakhir ini. Aku
merebahkan tubuhku dan perlahan-lahan kudengar desah suara hujan semakin
menghilang. Aku larut dalam tidur membawa kepedihan yang akan kuputar seperti
film dalam mimipiku.
Tok! Tok! Tok!
Aku mendengar suara ketukan pintu.
Perlahan aku membuka mata dan melirik jam di HP ku.
Pukul. 00.00.
Siapa yang mengetuk pintuku
malam-malam begini? Atau aku hanya salah dengar saja? Apa itu Malaikat yang
memintaku untuk terbangun dari mimpi burukku? Kugunakan pendengaranku dengan
baik. Aku mendengar suara ribut di luar dan aku mendengar dengan jelas suara
Ridwan. Dengan cepat aku bangkit dan membuka pintu. Jangan-jangan Ridwan dalam masalah
dan meminta bantuanku. Detik demi detik berlalu dan aku membuka pintu kamarku.
Aku kaget. Sangat kaget. Percayakah kau Kawan, bahwa sosok yang tepat ada di
depanku adalah Dewi?
Dia langsung memelukku dengan erat.
Apakah aku belum terbangun dari tidurku? Apa ini mimpi? Tidak, ini adalah
kenyataan. Dalam pelukan Dewi berkata,
“Selamat ulang tahun, Sayang! Maaf,
semua yang kulakukan hanya untuk ngerjain kamu.”
“Apa?” aku kaget. Lalu perlahan aku
mengingat sesuatu. Dan ternyata hari ini memang adalah hari ulang tahunku.
“Jadi selama ini….”
“Iya, aku dan Ridwan sudah
merencanakan semuanya.” Dewi melepaskan pelukannya.
Aku melihat Ridwan yang tersenyum
di depanku lalu memberikan ucapan selamat padaku. Sebuah drama yang sempurna.
“Happy birthday, Bro! Sorry,
ini semua sudah direncanakan. Tidak mungkinlah aku diam saja melihatmu terluka
dan menasehatimu seperti kemarin. Pasti sudah aku hancurkan cowok yang menjadi
pacar barunya Dewi andaikan semuanya itu benar.”
Sungguh aku terharu. Bahagia. Kupandang
wajah Dewi yang teduh dan penuh keikhlasan.
“Cowok yang aku bilang pacarku itu
adalah kakak kandungku sendiri yang sejak kecil sekolah di Banjarmasin. Dia
datang bersama ke dua orang tuaku. Kamu tidak marah, kan? Aku sungguh
mencintaimu apa adanya. ‘Tak pernah sedikit pun niatku mencintaimu hanya karena
faktor materi. Dirimu lebih dari cukup untuk segalanya. Kaulah imam yang telah
diciptakan Allah untuk memimpinku,” peluknya makin erat. Aku melepaskan pelukan
itu, menatap matanya dan mencubit pipinya.
“Makasih, Sayang. Aku
makin tahu, betapa berartinya aku bagimu. I do Love you.”
“Aku juga. Aku tak mau kehilangan
kamu, Aku sayang banget sama kamu.”
Oh indahnya. Lukaku pun sembuh semuanya.
Tergantikan dengan kebahagiaan yang ‘tak terperikan. Mozaik cinta di musim hujan ini akan kusimpan dan
akan kurangkai dengan mozaik- mozaik indah di musim-musim yang akan datang
bersama Dewi. Kuingin selamanya memeluk Dewiku dalam kehangatan kasih sayang
dalam balutan kesucian sebuah cinta.
Cerpen ini terlahir di awal semester 2 kuliahku, Februari 2011.
Sepenuhnya hanya fiktif di tengah musim hujan.
Komentar
Posting Komentar