Berlayar (Sebuah Catatan Akhir Tahun)
Hari itu, tanggal 3 Desember 2015, saya melakukan perjalanan yang akan memakan waktu kurang lebih empat hari dari Nabire menuju Makassar, di atas kapal besar milik negara. Di atas kapal itu, saya akan menyabung nyawa di tengah amukan ombak lautan Papua, Maluku, dan Sulawesi. Hmm. Silakan bertanya kepada orang-orang yang pernah melintasi jalur tersebut di penghujung tahun.
Setidaknya, saya telah menghabiskan tiga bulan di Tanah Papua. Dan ya, saya harus kembali ke kampung halaman. Sebut saja, selama tiga bulan itu adalah liburan panjang seorang pengangguran.
Jujur saja, saya sedih meninggalkan kota Nabire. Bukan apa-apa—bukan karena telah menemukan sesosok perempuan blasteran Papua-Manado— saya harus meninggalkan dua ponakan saya yang masih unyu-unyu. Mereka kembar, dan tentu kau tahu, bagaimana menggemaskannya bocah kembar emas umur dua tahun, bukan? Sepasang balita yang tingkahnya selalu ‘memaksamu’ untuk tersenyum. Meskipun sesekali bikin sebal, tapi itu bukan soal.
Tak usah kuuraikan kisah kebersamaan saya bersama mereka selama tiga bulan di Nabire. Ya, tak usah. Semua itu hanya akan memantik kembali kesedihan saya. Maaf, kali ini saya baper. Tak usah katakan ini berlebihan, sebab inilah baper berkualitas. Tentu kau tahu, apa bedanya baper berkualitas dengan baper-baper kebanyakan.
Maka, di atas kapal dengan tulisan LABOBAR di lambungnya, saya berusaha mencari kesibukan yang mampu memalingkan ingatan saya kepada dua ponakan kesayangan saya itu. Saya mencoba mengakrabkan diri dengan cepat kepada teman-teman sepelayaran agar bisa berbagi cerita-cerita yang tentunya tidak terlalu penting. Juga berjalan ke dek paling atas yang terbuka; memandangi samudera luas dengan ucapan “Masya Allah”, walaupun sesekali harus dibarengi dengan “Astagfirullah, kuatkan saya, ya Allah”, lantaran melihat perempuan-perempuan berbusana mini yang kerap berlalu-lalang di antara puluhan pasang mata yang tertuju kepada mereka. Oh, iya, perlu saya sampaikan bahwa kapal adalah miniatur kehidupan yang sebenarnya. Beragam profesi, suku, bahasa, sikap, sifat, dan lain-lain, dan lain-lain ada di sana.
Di dalam kabin kelas ekonomi dengan jejeran tempat tidur serupa bangsal rumah sakit itulah saya ‘terdampar’. Berdesakan dengan penumpang dan barang bawaan. Saya kenyang dengan bualan orang-orang di sekitar saya. Saya tahu, itulah cara mereka menikmati perjalanan panjang di tengah lautan dengan resiko kapal bisa tenggelam kapan saja. Tapi saya tetap lapar dengan suguhan makanan yang disiapkan pengelola kapal. Lebih buruk dari masakan rumah sakit. Maaf, ini bukan persoalan bersyukur dan tidak. Silakan melakukan perjalanan panjang menggunakan kapal milik negara dari Surabaya ke Jayapura, atau setidaknya seperti saya, dari Nabire ke Makassar. Rasakan sendiri ‘sensasi’ pelayanannya selama berhari-hari.
Saran saya, jika ingin berlayar dengan kapal Labobar dan sejenisnya, perteballah dompet. Saya yakin kau akan memilih makanan yang dijajakan dengan harga ‘aduhai’ ketimbang melahap habis makanan yang disediakan oleh pengelola kapal. Dan harus kau tahu, makanan-makanan yang lumayanlah enaknya dengan harga ‘aduhai’ itu, juga diproduksi dari dapur kapal, kemudian dijajakan dengan cara berkeliling oleh ABK (Anak Buah Kapal) itu sendiri. Bayangkan. Seperti ada kongkalikong di atas kapal. Sudahlah, saya tidak ingin terlalu berburuk sangka. Sudah saya katakan, ini bukan soal bersyukur atau tidak.
Maaf, keluhan di atas bukanlah poin utama yang ingin saya sampaikan. Tapi kau harus mafhum, pemuda tengik seperti saya yang pernah merasakan kuliah di salah satu kota dengan label kota ber-mahasiswa tukang protes dan anarkis, tentunya gatal ingin mengeluarkan uneg-uneg semacam itu. Ya, abaikan saja.
Ehem…. Ehem.
Di pelayaran hari ke-2, terlepas dari celoteh bodoh saya di atas, saya baru sadar, ternyata ada seorang perempuan bercadar di kabin ekonomi yang pengap itu. Jaraknya hanya beberapa depa dari tempat saya. Saya baru menyadarinya subuh itu, saat hendak menuju mushallah di dek tujuh. Saya salah satu orang yang tidak percaya dengan ‘kebetulan’. Tuhan sudah mengatur sedemikian rupa setiap senti kehidupan. Saat itu, saya tidak sengaja menoleh ke belakang dengan kesadaran yang belum pulih sepenuhnya sebab bangun terburu-buru. Dua perempuan juga sedang berjalan di belakang saya. Ya, perempuan bercadar dan seorang perempuan paruh baya yang saya yakini adalah ibunya.
Saya seketika heran. “Kok, baru lihat?” Demikianlah celotehan pertama saya di hari itu. Saya lalu mempercepat langkah dan meninggalkan mereka. Jujur saja, saya tersenyum. Senyum yang tidak dilihat siapa pun.
Setelah subuh itu, saya acap melihatnya di kabin. Sependek pengamatan yang saya lakukan dengan cara curi-curi pandang, ia berlayar bersama keluarganya; ayah dan ibunya serta seorang anak kecil yang saya paksakan di dalam mindset saya, bahwa anak kecil itu adalah adiknya.
Mengapa saya ingin bercerita tentang perempuan bercadar itu? Entahlah. Sampai detik ini saya pun tidak tahu. Apakah saya kagum? Entah. Saya tidak meng-iya-kan, pun tidak mengingkarinya. Di kampus saya dulu, ada banyak perempuan bercadar, tapi tidak satu pun yang menarik perhatian saya untuk diceritakan.
Kalaupun saya mengaguminya, ya, sebatas itu saja. Sudah barang tentu, lelaki mana saja pasti menginginkan perempuan yang mampu meneduhkan rumah tangga dengan kedewasaan dan kemapanan religius-nya.
Entah seperti apa rupa di balik cadar yang ia kenakan. Saya tidak tahu. Toh, tidak mungkin saya nyelonoh menghampirinya. Cari pasangan itu kudu tahu adat. Biarlah ia menjadi misteri. Perempuan memang penuh misteri, bukan.
Dan saya juga tidak bisa memaksakan keadaan seperti dalam adegan film Ayat-Ayat Cinta; saat Aisyah membuka kain penutup wajahnya di depan Fahri. Ya, iya, situasi saat itu adalah detik-detik Fahri ingin melamar Aisyah.
Empat hari berlayar dari perairan Papua hingga Sulawesi, akhirnya kapal merapat di Pelabuhan Soekarno-Hatta, Makassar. Dan apakah kau tahu, rombongan keluarga perempuan bercadar itu juga siap-siap untuk turun di pelabuhan yang sama denganku. Sejak satu jam sebelum kapal berlabuh, saya memerhatikannya dari dekat. Perempuan bercadar itu sudah berganti pakaian. Lebih kekinian tapi tetap istiqamah dengan cadar yang ada di wajahnya.
Apakah saya mengejarnya? Tidak sedramatis itu juga, kali. Sudah saya katakan, biarlah ia tetap menjadi misteri. Setidaknya dengan melihat gerak laku dan penampilannya selama di atas kapal, saya semakin mantap menginginkan perempuan seperti apa kelak. Tidak juga harus bercadar. Tidak. Yang penting mampu meneduhkan pandangan dengan pemahaman yang dimilikinya.
Berlayarlah kelak bersamaku// kita sederhanakan cerita kehidupan dalam amukan ombak// menuju pelabuhan diantar doa-doa dalam rapalan yang paripurna// tidak usah khawatir// samudera apapun itu, tak kan mampu meneggelamkan// jika kau tetap selembut sutera di sampingku// tak perlu cantik// aku nahkoda yang sudah tahu biru mana yang lebih membahayakan.
Komentar
Posting Komentar