Semangkuk Kapurung dari Perempuanmu

Aku hanya tidak ingin menjadi seperti perempuan-perempuan kebanyakan di kampungku. Bagiku, apa bedanya Kartini memperjuangkan emansipasi wanita jika pada kenyataannya perempuan-perempuan masih saja bercokol di ladang, memetik buah kakao, dan hanya disibukkan dengan berbagai bumbu-bumbu dapur setiap harinya. 

Seharusnya ribuan tahun yang lalu, perempuan sudah mendapatkan kebebasannya. Tuhan telah mengutus seorang Nabi untuk menghapus penindasan terhadap perempuan agar tidak lagi diperlakukan ibaratnya budak. Tapi, toh, sampai sekarang mereka masih saja ditaklukkan oleh adat. Ratusan bahkan ribuan perempuan tak mampu lagi mengelak ketika seorang lelaki dari kerabat orangtuanya datang dengan niat memepersuntingnya. Semua gerak laku perempuan ada di ujung telunjuk orangtua. Menurutku, itu sama saja dengan penjajahan terhadap perempuan. Sungguh menjijikkan.

Aku lahir di sebuah pesisir di Luwu. Beruntung, aku terlahir dari rahim seorang ibu yang mengerti arti masa depan seorang perempuan. Ayahku pun demikian. Aku tidak habis pikir jika aku terlahir seperti perempuan lainnya di kampungku. Mengenyam pendidikan seadanya. Hidup dalam lingkungan yang itu-itu saja. Mungkin kurang enak saja bila kukatakan sistem kehidupan semacam itu adalah pengkebirian terhadap perempuan.

Maka, sejak kecil aku disekolahkan oleh orangtuaku hingga menamatkan kuliah di sebuah perguruan tinggi di Makassar. Aku menjadi ikon kemerdekaan perempuan yang selama ini dipenjara kebebasannya oleh para orangtua di kampungku.

Setelah menyelesaikan kuliah, orangtuaku memintaku untuk pulang. Katanya, ilmu ekonomiku cukup dipergunakan di kampung saja. Aku menolaknya. Aku ingin memulai karir di Makassar. Tak ingin berdebat denganku, akhirnya mereka mengizinkanku untuk bekerja di salah satu bank swasta yang sangat terbuka menerimaku. 

“Asalkan kau tetap bisa jaga diri di Makassar, Nak,” kata ayahku di ujung telepon waktu itu.

Pesan itu sebenarnya hanyalah basa-basi. Mereka tahu aku sudah terlampau bisa membentengi diriku dari hal-hal yang membahayakanku. Apalagi dari godaan laki-laki yang ingin mencuri perhatianku. Maaf saja, aku menutup rapat-rapat pintu hatiku untuk hal semacam itu. Terbukti, tak ada satu pun laki-laki yang berhasil mengajakku kencan sampai aku menikah. Harapan mereka kucampakkan acap kali mencoba mendekatiku.

Karirku berjalan lancar serupa hujan yang tak terbendung lagi. Tiga tahun bekerja di bank swasta itu, prestasiku melejit. Aku dipercaya menjadi kepala teller. Kuncinya adalah kegigihan, kedisiplinan, dan tentu saja kecerdasan otakku. Tidak sia-sia aku menyelesaikan kuliah dalam waktu kurang dari empat tahun. Aku merasa persis kupu-kupu yang mampu dengan cepat bermetamorfosis. Aku terbang dengan sayap-sayap yang menawan.

Laki-laki sepantaranku yang juga bekerja di bank itu mulai segan padaku. Kecuali Pak Maskur, pimpinan cabang, yang kadang menatapku dengan senyuman nakal. Seandainya saja ia bukan atasanku, sudah kuberi ia pelajaran berharga dalam hidupnya. Aku muak melihatnya setiap kali ia memandangiku. Ya, saat itu aku belum menikah tentunya.

Tiga tahun menjadi kepala teller, keberuntungan kembali menghampiriku. Aku diangkat menjadi manajer operasional, yang bersinggungan langsung dengan Pak Maskur. Apakah ia yang merekomendasikanku agar bisa lebih leluasa mendekatiku? Entahlah. Aku yakin dan percaya diri bahwa aku memang mampu menempati posisi itu karena kerja kerasku selama ini. 

Benar saja, Pak Maskur sudah berani mengajakku dinner di sebuah restoran mewah di Makassar. Dengan halus aku menolaknya. Ia juga pernah meletakkan sebuah tiket perjalanan wisata ke Singapura di atas meja kerjaku. Dengan berang aku menghambur ke ruangannya. Aku sudah tidak bisa menahan emosi yang sudah lama kuperam. Kulemparkan tiket itu tepat di wajahnya. Kontan, ia kaget bukan main. Aku mengancam akan melaporkan perbuatannya ke kantor pusat. 

“Saya mohon, jangan laporkan saya. Kasihan anak dan istri saya,” katanya memohon seperti anak kecil yang merengek meminta sesuatu dari orangtuanya.

Aku merasa di atas angin waktu itu. Pak Maskur frustrasi berat. Ia tidak berani lagi melihat mataku acap kali kami berpapasan. Tapi dasar laki-laki garong, ia mendekati Sophia, karyawan baru di bank, setelah menyerah mengejarku.

Aku kasihan sekaligus murka dengan Sophia. Ia mau saja termakan rayuan lelaki hidung belang itu. Aku tahu ia juga memanfaatkan Pak Maskur demi karirnya. Sungguh memalukan. Bagiku, lebih baik menjadi perempuan yang dikekang kebebasannya oleh orangtua seperti di kampungku daripada menjadi wanita penjilat macam Sophia. Ia telah menodai kehormatan perempuan yang dijunjung setinggi langit.

Suatu hari aku bermaksud akan memanggil Sophia dan memberinya nasihat. Tapi semuanya terlambat. Oleh istrinya, Pak Maskur dilaporkan berselingkuh dengan Sophia. Ternyata diam-diam selama ini istri Pak Maskur menguntit kelakuan suaminya. Tidak perlu waktu yang lama Pak Maskur dan Sophia dikeluarkan dari bank.

Aku menghela nafas dengan lega saat itu. Aku bersyukur mampu mempertahankan kehormatanku saat Pak Maskur dengan gesit melancarkan aksinya tempo hari. 

Jabatan yang ditinggalkan Pak Maskur akhirnya jatuh ke tanganku. Sebuah pencapaian yang luar biasa dalam hidupku. Aku semakin tertutup kepada laki-laki. Setiap hari aku hanya disibukkan dengan urusan bank. 

Sampai pada satu waktu, orangtuaku datang ke kontrakanku. Bukan tanpa niat, mereka datang lantaran merasa khawatir denganku. Ya, khawatir karena sampai saat itu aku belum menikah juga. 

“Nak, umurmu sudah tiga puluh, kasihan belum punya suami.” Ibuku membuka percakapan hari itu. Ayah hanya memilih diam.

“Saya saja tidak merasa kasihan, Bu,” kataku sembari tersenyum dan terus menekuni komputer yang ada di depanku.

“Menikahlah, Nak, demi kami,” timpal ibuku.

“Belum saatnya, Bu. Saya belum memikirkan itu. Saya tidak punya waktu untuk melayani kebutuhan suami yang pastinya akan menghambat pekerjaan saya,” kataku mencoba untuk berdiplomasi dengan ibuku. 

“Kasihanilah kami, Nak. Kami menempuh perjalanan ratusan kilometer dari kampung demi membicarakan hal ini,” ucap ibu seperti menahan tangis. Demi mendengarnya, kutinggalkan pekerjaanku di komputer.

Aku mendekati ibuku. Kupegang tangannya yang sudah mengeriput. 

“Baiklah, Bu. Jika itu kemauan Ibu dan Ayah, saya siap,” kataku tidak yakin, “tapi beri saya waktu. Saya belum menemukan laki-laki yang pas untuk saya.” lanjutku.

Ibuku langsung tersenyum. Senyum yang tak kalah bahagianya pun kulihat dari sepasang bibir ayahku.

***

Akhirnya aku menikah. Ya, dengan seorang laki-laki yang dipilihkan orangtuaku. Kan, sudah kukatakan bahwa tidak ada satu pun laki-laki yang mampu mencuri perhatianku. 

Aku mau menerima pilihan orangtuaku itu lantaran aku tidak bisa menemukan laki-laki lain lagi. Jujur saja, aku menikah karena keinginan orangtuaku. Bukan karena keinginanku. Bukan. 

Meski pilihan orangtua, setidaknya hal itu terjadi setelah aku berada di atas kesuksesan yang selama ini kuinginkan. Toh, umurku juga sudah tiga puluh. 

Orangtuaku juga tidak asal-asalan memilihkanku pendamping hidup. Dia adalah Herman, laki-laki yang sudah teruji kebaikannya. Umurnya sama denganku. Sayangnya, ia masih menjadi guru honorer di kampungku. Berkali-kali ia mengikuti ujian untuk menjadi PNS tapi tak kunjung lulus. Bukan karena ia tidak cerdas, tapi ia tidak ingin culas dengan membayar oknum yang tidak bertanggung jawab agar bisa diurus kelulusannya. Ya, begitu yang ia ceritakan padaku saat malam pertama pernikahan kami. Aku dengan malas mendengarnya. Sampai kami tertidur, ia sama sekali tidak menyentuhku malam itu.

Di Makassar, aku tidak tinggal di kontrakan lagi. Aku sudah memiliki rumah di salah satu perumahan elit. Sesuai perjanjian dengan orangtuaku sebelum menikah, maka aku akan tetap tinggal di Makassar. Persoalan itu mudah sekali. Herman tanpa basa-basi bersedia untuk tinggal denganku. Karena masih berstatus sebagai guru honorer, tidak sulit baginya meninggalkan pekerjaannya. Di Makassar ia bisa mencari sekolah baru. Aku tidak tahu apakah ia merasa harga dirinya terinjak waktu itu. Tapi apa hendak dikata, itulah jalan satu-satunya jika ia ingin tetap menemaniku.

Karena penampilan dan kecerdasannya yang meyakinkan, Herman diterima di sebuah yayasan sebagai tenaga pengajar. Setiap pagi kami meningalkan rumah menuju ke tempat kerja masing-masing. Aku tidak pernah menyiapkan sarapan untuknya. Di lemari es sudah kusiapkan roti dan susu kemasan. Ia tanpa celoteh melahap roti dan susu itu sebelum berangkat ke sekolah. 

Kadang-kadang ia membuat nasi goreng dan menyiapkannya untukku. Dengan senyuman ia mempersilakanku untuk mencicipi nasi goreng buatannya. Tidak buruk, menurutku. Tapi aku tidak pernah sekalipun mengomentarinya. 

Aku masih saja bersikap dingin kepadanya. Sudah kukatakan, aku menikah bukan karena keinginanku. Mungkin ia memahami hal itu lewat sikapku yang terlampau dingin kepadanya. Sebenarnya ia adalah lelaki penyayang. Tiap malam aku merasakan tangannya mengusap rambutku saat aku mulai terlelap. Tapi semua itu belum mampu membuatku luluh. Pekerjaan di kantor jauh lebih penting ketimbang merayakan cinta kami. Ah, cinta Herman saja.

Nyaris tak ada waktuku untuknya. Pagi-pagi kami berpisah. Herman pulang dari sekolah jauh lebih awal daripada aku. Tapi aku? Jika pekerjaan terlalu banyak, tak jarang aku pulang setelah maghrib —setelah makan malam diluar dengan orang-orang kantor. Sesampainya di rumah, aku langsung tumbang di atas kasur. Atau kadang menyelesaikan pekerjaan hingga larut malam. Tak ada makan malam romantis. Tak ada kecupan-kecupan hangat dan tentunya tak ada perasaan yang mengharu biru. Alhasil, program untuk tidak memiliki anak dalam waktu dekat berjalan secara alami. 

Jika hari libur aku biasa menghabiskan waktu berwisata dengan rekan kerjaku di kantor tanpa Herman. Dan tak jarang pula aku harus keluar daerah untuk melakukan pertemuan dengan pimpinan cabang lainnya. 

Setiap kali Herman membicarakan tentang anak, dengan dingin aku menanggapinya. Aku katakan belum saatnya. Ia hanya tersenyum dan mencoba memahamiku. Wajahnya tetap teduh. Sebenarnya Herman adalah laki-laki yang tampan. Kulitnya putih, berperawakan tinggi, dan hidungnya mancung. Rambutnya yang disisir ke samping menambah kedewasaanya. Tapi sayang, aku belum berhasrat untuk memberikan perasaanku kepada siapapun. 

Kesabarannya sungguh teruji denganku. Mungkin di luar sana ia adalah idola para perempuan. Calon menantu yang dirindukan para mertua. Tapi bagiku, semua itu bukan alasan untuk menanggapinya. Alhasil, ia nampak segan padaku. 

Pada satu siang di hari Minggu, ia dengan ragu mendekatiku. Ia memintaku untuk membuat kapurung, makanan khas Palopo. 

“Kapurung? Tidak salah? Aku tidak pernah membuatnya selama hidupku. Dan kau tahu, prosesnya ribet,” timpalku jujur dengan penekanan, “kalau kau mau, ke rumah makan yang menyediakan kapurung saja. Di Makassar sudah banyak rumah makan seperti itu,” lanjutku. 

Herman hanya tersenyum dan berkata, “Aku hanya ingin kapurung buatanmu”. Katanya. Gombal, pikirku. 

Sampai setahun setelah menikah, aku tetap dingin padanya. Orangtuaku mulai gusar karena aku belum juga hamil. Berkali-kali mereka menerorku lewat telepon. Ia menyaranku agar aku dan Herman memeriksakan diri ke dokter, apakah tidak ada yang salah dengan kami. Aku hanya tersenyum dalam hati. Semua ini sudah kurencanakan.

***

Memasuki delapan belas bulan pernikahan kami, entah mengapa sifat Herman mulai berubah. Ia dingin sepertiku. Itu yang kuharapkan. Aku tidak ingin ia terlalu berharap padaku. Ia tersenyum secukupnya saja saat melihatku. Mungkin ia mulai bereaksi.

Tiba pada suatu hari, ya, aku masih mengingatnya. Hari itu tiga minggu yang lalu. Aku mengatakan kepadanya bahwa aku ingin melanjutkan pendidikanku ke Jogjakarta. Aku tidak bermaksud untuk meminta izin padanya. Hanya saja tidak baik jika aku tiba-tiba meninggalkannya tanpa ia tahu kemana aku pergi.

“Kau mau kuliah S2 ke Jogja?” tanyanya memalingkan wajahnya dariku.

 “Iya. Untuk jaga-jaga, agar aku bisa mempertahankan posisiku di bank. Dan tidak menutup kemungkinan bisa membawa karirku lebih tinggi lagi,” cetusku. 

“Sebelum kau pergi, aku yang akan pergi lebih dulu,” timpalnya. Wajah Herman menegang. Ucapannya mulai keras. Sangat berbeda dengan Herman yang kukenali.

Aku heran saat itu. Tapi aku menganggapinya sebagai angin lalu. Wajarlah jika kesabarannya sedikit terkikis karena sifatku.

Dan sungguh diluar dugaanku, esok harinya ia pergi. Ia membawa semua pakaian dan buku-bukunya. Sepulang dari kantor aku hanya menemukan secarik kertas di atas meja rias di dalam kamarku.

“Ambisimu melebihi segalanya. Mengalahkan apapun yang ada di dunia, termasuk kehadiranku. Aku pergi bukan karena kesabaranku habis. Bukan pula karena perasaanku terkikis. Tapi aku menyadari bahwa aku gagal membuatmu mencintaiku, sekalipun telah kukorbankan harga diriku. Sekeping pun perasaanmu tak pernah ada untukku. Kejarlah apa yang hendak kau kejar. Jadi sekalipun aku pergi, itu tidak akan merubahmu. Jangan khawatir, rindu tidak akan membuatku kembali”

Kuletakkan surat itu. Hatiku mulai terasa pedih. Inikah kekujujuran yang selama ini ia sembunyikan di balik kesabarannya? Tapi aku tetap berusaha tenang. Mungkin Herman hanya emosi saja. Besok ia akan kembali, pikirku.

Dua, tiga, dan empat hari ia tidak kembali. Ia pun tidak bisa dihubungi lewat telepon. Kutunggu sampai seminggu, tapi langkahnya tak pernah sampai di depan pintu rumah. Akhirnya aku mengabari orangtuaku di kampung. Aku mulai panik. Kuceritakan tentang surat yang ditinggalkan Herman. 

“Setinggi apapun langit yang mampu digapai oleh perempuan, semua itu tidak ada artinya jika ia ditinggalkan oleh suaminya lantaran ia tidak mampu memberi cinta dalam rumah tangganya.” Kalimat penghakiman itu kudapat dari ibuku. 

Dan tepatnya seminggu yang lalu, seseorang datang membawa sebuah amplop berwarna cokelat ke rumahku. Aku membukanya. Isinya sebuah surat. Kubaca dengan teliti. Setelah kubaca air mataku terjatuh. Itu adalah tangisan pertama sejak kepergian Herman. Bukan, tapi sejak ia menikahiku. Kumasukkan kembali surat itu ke dalam amplop lalu dengan langkah secepat kilat, aku menghambur ke dapur.

Kusiapkan bahan untuk membuat sesuatu. Ya, makanan yang pernah Herman inginkan dariku. Aku akan membuat kapurung dengan sisa-sisa ingatanku tempo hari saat kulihat ibuku membuat makanan itu di rumah. 

Dengan cekatan tanganku bekerja. Kuraih tepung sagu yang sebulan lalu dikirim ibuku. Aku akan mempersiapkan kapurung terbaikku untuk Herman. Kapurung ini akan berbeda karena kubumbui dengan cinta dan air mata. Aku merasakan menjadi seorang istri sepenuhnya.

Setelah siap, kubawa semangkuk kapurung buatanku ke dalam kamar, lalu kuletakkan di samping surat yang sudah kubaca tadi. Aku berharap Herman akan datang dan mencicipinya sedikit saja. Aku ingin mengatakan, “Inilah semangkuk kapurung dari perempuanmu.” Namun, sampai kapurung-ku dingin dan mengeras, ia tidak datang juga. Kubaca kembali surat yang sudah kubaca sebelumnya. Aku berharap isinya akan berubah. Tapi tetap saja sama, surat itu tetaplah Surat Gugatan Cerai Herman.

Juara 2 dalam "Lomba Menulis Cerpen dan Esai Purnama Masai 2015" yang diadakan oleh Forum Lingkar Pena (FLP) Ranting Universitas Hasanuddin.

Komentar

  1. keren kak, pernah kursus nulis atau memang udh passion ta kak? keren.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Alhamdulillah, terima kasih. Otodidak ji. Awalnya, suka baca-baca tulisannya orang. Karena tidak mau kalah, akhirnya belajar nulis juga. Hehehe. Sekarang, insya Allah, sudah jadi passion. Tapi masih butuh banyak belajar dan latihan.

      Hapus
  2. keren kak, pernah kursus nulis atau memang udh passion ta kak? keren.

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan Populer