Aku Ingin dan Magisnya


AKU INGIN
Aku ingin mencintaimu dengan sederhana
dengan kata yang tak sempat diucapkan
kayu kepada api yang menjadikannya abu

aku ingin mencintaimu dengan sederhana
dengan isyarat yang tak sempat disampaikan 
awan kepada hujan yang menjadikannya tiada

Dua bait puisi “Aku Ingin” Sapardi Djoko Damono di atas adalah sihir kata-kata yang mampu mengundang ke-baper-an selain puisi fenomenalnya, “Hujan Bulan Juni”. Betapa tidak, dua puisi tersebut jika diamati secara sepintas, di dalamnya terdapat ruh serupa makna lagu Cinta dalam Hati-nya Ungu—yang juga sempat fenomenal di kalangan remaja pemendam rasa.

Saya sudah mengenal puisi Aku Ingin sejak masih sekolah dulu. Kalau saya tidak keliru, puisi tersebut pernah mejeng di dalam buku mata pelajaran Bahasa Indonesia. 

Dua bait sederhana yang memiliki makna sangat dalam. Tak pelak, setelah membacanya kembali dan merenunginya dalam-dalam, ada desir yang entah dari mana asalnya. Saya tidak tahu. 

Tidak ada yang berlebihan selama semuanya masih mampu dikendalikan oleh hati dan logika. Perasaan yang entah kapan saja bisa ada adalah sebuah pemakluman. Biarlah mengalir sealami mungkin, melewati kelokan, membentur akar-akar, dan pada akhirnya sampai pada hilirnya—entah bahagia atau justeru sebaliknya.

Ah, jujur saja, saya benci menulis hal semendayu dan secengeng ini sejak medio 2015. Ada geli yang pelan-pelan mengalir dalam tubuh saya acap menulis tentang perasaan yang terlalu berlebihan. Tapi entah kenapa, sesaat setelah menemukan dan membaca Aku Ingin di internet, ada hasrat untuk menulis catatan seperti ini. Baiklah, mungkin saya harus mengubah pendekatan dalam menuliskannya.

Mengagumi. Ah, saya sudah lupa bagaimana rasanya menaruh kekaguman kepada seseorang. Saya tidak pandai lagi membuat puisi jatuh cinta yang alay menurut mindset saya. Saya lebih sering menulis tentang kenangan dan rindu. Padahal, apa bedanya, sih.

Mungkin pemahaman telah membawa saya pada titik ini. Namun pun, jika pada akhirnya saya harus jatuh hati kepada seseorang, semoga pemahaman yang saya punya menjadi tameng untuk saya. 

Bahwa kekaguman adalah sebuah kemungkinan. Harapan yang menggantung seterang Sirius di angkasa. Seterang apa pun, toh, pada akhirnya tidak berdaya jika disandingkan dengan matahari di siang hari. Jatuh cinta adalah fitrah yang tanpa rencana sekalipun selalu datang seenak jidatnya. Dan pada kenyataannya, ibarat menggenggam bulan, apa yang dikagumi belum tentu bisa dimiliki. 

Aku ingin mencintaimu dengan sederhana
dengan kata yang tak sempat disampaikan
kayu kepada api yang menjadikannya abu

Terserah bagaimana kita memaknai penggalan di atas. Puisi adalah bahasa jiwa yang hanya Tuhan dan pemilik puisi itu sendiri yang mampu menafsirkannya dengan tepat. Mencintailah dengan sederhana. Jangan dibikin rumit. Labuhkan segala perasaan itu hanya kepadaNya. Bersiaplah menggenggam kekosongan. Toh, perasaan bukan untuk dipaksakan.

Jika pada akhirnya kekaguman yang sejatinya adalah kemungkinan tidak juga menjelma kepastian, jagalah energi positif yang sempat dihadirkan perasaan itu. Teruslah merawat rencana-rencana indah yang pernah memenuhi kepala sebelum tidur, hingga pada saatnya Tuhan mempertemukan dengan seseorang yang tepat. Yang dikagumi, pula mengagumi.

Kekaguman semestinya menjadi keheningan paling istimewa di dalam hati. Menjadi kata paling rahasia dalam puisi. Dan menjadi ungkapan syahdu dalam doa. Maka, sesakit apa pun kenyataan, serumit apa pun perasaan itu, luka tidak akan membuat jiwa menjadi lemah. 

Hmm…. Sudahlah. Saya tidak bisa lagi meneruskan. Deskripsi saya terlalu buruk untuk hal semacam ini. Saya akan menulis lebih banyak lagi tentang rindu dan kenangan saja. Tapi pada intinya, saya kembali terenyuh setelah menghayati puisi Aku Ingin.

Entahlah, mengapa saya mencari-cari puisi ini. Bersanding dengan Hujan Bulan Juni, saya merasa aneh.


Komentar

Postingan Populer