Jangan Pernah Menjauhi Mereka
Saat masih menyandang status sebagai mahasiswa, saya memiliki banyak teman perokok. Setiap hari saya bergumul dengan mereka. Entah di kampus, di kost, dan di beberapa tempat angkringan di seantaro Makassar—tentunya bukan tempat untuk kalangan elit—saya selalu berada di dalam pusaran asap rokok.
Bayangkan jika ada empat orang sedang merokok dalam satu kamar kost yang ukurannya tidak seberapa dengan fentilasi alakadarnya. Luar biasa, bukan. Saya serasa sedang beraksi di atas panggung megah dengan efek asap buatan. Alih-alih memasang gambar rokok dengan tanda silang serta tulisan “NO SMOKING” di bawahnya dalam kamar kost, saya justru larut dalam cerita yang tidak pernah ada ujung pangkalnya bersama kawan-kawan perokok nan konyol saya itu. Maaf, saya tidak menyebut mereka kafir karena bagi saya merokok bukanlah kesesatan, sekalipun saya ogah untuk merokok.
Meski mereka sama sekali tidak memiliki toleransi saat menikmati batang demi batang rokok kepada kaum seperti saya yang anti merokok (bukan anti rokok, lho. Beda!) saya selalu memiliki alasan untuk tetap berkawan dengan mereka. Ada satu hal yang membuat saya kagum kepada mereka: kawan saya tidak pernah memaksa saya untuk merokok. Toh, saya sudah menjadi perokok pasif, yang konon katanya lebih ngeri ketimbang perokok aktif. Teori yang sebenarnya diam-diam saya sangkal dalam hati. Logikanya di mana? Mari berpikir! Jika memang perokok pasif lebih ngeri daripada perokok aktif, maka yang sebenarnya lebih pantas mengidap penyakit kronis pasti kembali ke perokok aktif. Iya, tho? Maksud saya seperti ini, perokok yang sudah berstatus sebagai perokok aktif pasti akan menjadi perokok pasif. Lha, iya. Mereka juga kan, menghirup asap rokok dari sesama perokok lainnya. Apakah saya benar?
Bagi sebagian orang, merokok adalah gambaran rendahnya tingkat intelektual dari kaum terpelajar macam mahasiswa. Boleh jadi benar, boleh jadi tidak. Namun bagi saya, terlalu tergesa-gesa jika mengambil kesimpulan seperti itu. Tentu argumen saya ini banyak diamini oleh kawan-kawan saya. Kawan saya yang perokok memiliki kepribadian yang berbeda-beda. Ada yang memang berlabel mahasiswa pemalas, namun ada juga diantara mereka yang rajin, baik dalam urusan akademik maupun dalam soal ibadah. Toh, halal dan haramnya rokok masih dalam perdebatan. Statusnya seperti seseorang yang harapannya digantung. Eaa.
Sungguh, merokok bukanlah masalah besar yang saya hadapi jika sedang bersama mereka. Buktinya, saat ini saya rindu mereka. Ah, Kawan, kalian luar biasa. Kendati saban hari tidak terlepas dari asap rokok, saya selalu punya cara untuk menetralisir toksin yang ada dalam asap tersebut. Dalam beberapa kesempatan, saya kerap menikmati air kelapa muda dari pedagang es kelapa muda yang berdagang di pinggir jalan kota Makassar. Dan sudah barang tentu, saya tidak menyia-nyiakan kesempatan untuk meneguknya berliter-liter saat mudik ke kampung halaman. Sumpah, ini teori menurut saya pribadi. Saya tidak pernah mengecek kebenarannya. Saya hanya menarik kesimpulan dari apa yang saya lihat di kampung saya. Banyak perokok yang tetap segar bugar di usia mereka yang lanjut karena selalu menikmati air kelapa. Entah mereka sadar atau tidak, tapi menikmati air kelapa di bawah terik matahari saat sedang beraktivitas di kebun adalah sebuah candu yang tiada taranya. Toh, tinggal petik saja, urusan beres. Jika teori saya ini benar, syukurlah. Jika tidak, saya tetap menjadikannya sebagai sugesti. Anda tahu, kan, betapa hebatnya kekuatan sugesti.
Akhirnya, saya bukannya memihak kepada kaum perokok. Bukan. Bagi saya, suatu kekhilafan jika harus menjauhi seseorang hanya karena dia adalah perokok. Saya sudah membuktikannya. Kawan-kawan saya adalah kawan yang canggih, lho.
Tetapi, jika kaum wanita yang notabene adalah komunitas terbesar yang penuh semangat mendukung kampanye antirokok tetap memiliki kesimpulan “tidak ada toleransi bagi lelaki perokok”, tidak usah khawatir, Dek. Sini, sama Abang saja.
Ditulis saat ide enggan bersahabat.
Komentar
Posting Komentar