EVERY ENDING IS A NEW BEGINNING

Suara tetesan demi tetesan hujan di luar sana terdengar seperti simfoni yang menemani malam dalam kegelapannya. Petir bersahutan di atas langit, menggertak bulan yang tak tampak lagi diperdaya awan pekat. Terasa menakutkan. Apatah lagi aliran listrik tiba-tiba saja terputus. 

Bagiku itu belum seberapa dibandingkan kepedihan yang telah menemaniku beberapa hari ini. Benar, malam ini petir menyambar dengan kilatannya, tapi tak seberapa jika dibandingkan rasa sakit yang melebamkan hatiku.

“Buka pintunya, Nak!” Suara Ibu samar-samar kudengar di depan pintu kamarku.

“Sudahlah, Bu! Biarkan ia menenangkan dirinya,” timpal Ayah. Kemudian perlahan suara mereka hilang tertelan suara hujan yang semakin menjadi-jadi.

Adakah yang lebih menyakitkan ketika bahagia yang sudah terpampang jelas di pelupuk mata akhirnya sirna begitu saja dengan cara yang “aduhai” menyakitkannya?

Susanti. Ya, wanita itu penyebab nelangsa berkepanjangan dalam hatiku. Sang bunga desa yang telah kuperjuangkan selama tujuh tahun. Wanita yang kucintai dengan seluruh perasaanku, minggu lalu tepat di acara lamaran tiba-tiba saja menghilang entah kemana. Seorang laki-laki yang baru dikenalnya sebulan berhasil merebutnya dariku.

Tujuh tahun menjalin hubungan yang penuh lika-liku dengannya, kini berakhir pupus begitu saja. Apakah ia lupa ketika di awal hubungan ini kami harus menyembunyikannya rapat-rapat agar tidak mengundang pergunjingan ibu-ibu tukang gosip di kampung? Apakah ia lupa ketika aku sudah menyelesaikan kuliah dan berjanji segera mungkin mendapat pekerjaan agar kelak bisa melamarnya? Apakah ia lupa ketika restu sudah kami dapatkan dari kedua orang tua? Apakah seperti ini caranya ia membalas segala pengorbananku?

Aku tak pernah habis pikir, bagaimana bisa ia terpikat dengan laki-laki borjuis yang baru saja hadir dalam hidupnya. Rasa sakit ini sunguh bertubi-tubi. Aku pun malu pada orang-orang yang sudah siap menyambut pernikahan kami, namun hanya berakhir di hari lamaran.

Aku pun tak pernah berpikir betapa kejamnya ia mempermalukan orang tuanya sendiri. Ia tidak tahu setelah kepergiannya di hari lamaran itu, ibunya harus dibawa ke rumah sakit lantaran penyakit jantungnya tiba-tiba saja menyerangnya tanpa ampun. Hari yang memilukan.

                                                      ***
Hari pun berganti hari. Sebulan, dua bulan, bahkan tiga bulan sudah tragedi itu berlalu namun masih saja membekas di dalam hati dan ingatanku. Ayah dan ibuku sudah berjuang keras demi melihatku bersinar lagi. Sudah lama mereka melihat mataharinya redup. Iya, mereka menyebutku sang matahari karena akulah anak semata wayang mereka. Anak satu-satunya yang harus menanggung siksa justeru dari wanita yang amat dicintainya.

Segala cara telah mereka lakukan. Bahkan mereka pernah mendatangkan seorang psikiates kenamaan dari ibukota. Sia-sia. Hatiku masih enggan meninggalkan kepedihan itu. 

Hingga pada suatu pagi, ketika ibu membawa sarapan ke dalam kamarku, ia menangis tak tertahankan. Menangis sesegukan lalu tumpah membasahi wajahnya.

“Nak, kaulah satu-satunya harapan Ibu. Dulu, segala cara telah Ayah dan Ibu lakukan demi mendapatkan seorang anak. Akhirnya setelah sepuluh tahun pernikahan kami, Tuhan memberikan seorang anak yang sudah lama kami nantikan. Itu adalah kau, Nak.” Hatiku mulai tersentuh. Cukup perih.

“Ibu mohon akhirilah kesedihanmu, Nak. Akhiri demi Ayah dan Ibu yang sangat menyayangimu. Kami tidak mau kehilangan harta satu-satunya yang sangat berharga. Percayalah, Tuhan menghendaki yang lain untukmu. Susanti ditakdirkan tidak bersamamu. Sekeras apapun usaha yang kita lakukan, jika Tuhan tidak menghendakinya, maka kita tidak bisa mendapatkannya. Jangan larut, Anakku.” Sangat dalam ucapan Ibu. Demi menahan tangisannya agar tidak semakin tumpah, ia langsung berlari meninggalkan kamarku. Meninggalkan rasa bersalah yang teramat dalam untukku.

Akhirnya kurenungi semua ucapan Ibu. Perlahan-lahan, sedikit demi sedikit aku berusaha menerima ketetapan Tuhan. Betapa bahagianya Ayah dan Ibu ketika menemukanku tersenyum kembali. Akhirnya matahari mereka bersinar paripurna.

Meski kenangan tentang Susanti kadang masih berlalu-lalang tanpa permisi di kepalaku, aku sudah berjanji untuk segera menepikannya. Aku terus mencoba berdamai dengan hatiku. Aku ingin semua ini menjadi awal baru dalam hidupku.

Di tengah kebangkitanku melawan perih, di suatu senja sebuah pesan singkat dari nomor yang tak kukenal mengusikku. Seseorang ingin bertemu denganku di sebuah pantai yang tidak jauh dari kampungku. Mungkin kawan lama, pikirku.

Aku segera menuju pantai itu. Memasuki pantai, aku kembali disergap rasa rindu. Ya, rindu yang sebenarnya masih kusimpan untuk Susanti. Meski dengan kejam ia mencampakkan harapanku, setidaknya ia pernah memberikan kebahagiaan dalam hari-hariku. Di pantai inilah aku memintanya menjadi pacarku saat masih sekolah dulu.

Matahari mulai terjatuh di ujung barat sana ketika aku tiba di pantai. Sangat indah. Pantai ini sepi. Tidak seperti pantai-pantai di kota-kota besar ketika senja. Hanya ada beberapa pasangan muda-mudi yang mungkin sedang dimabuk asmara. Aku tersenyum. 

Aku mencari-cari siapa yang ingin bertemu denganku. Tiba-tiba saja suara dari arah belakang mengejutkanku. Suara itu memanggil namaku. Aku sangat hafal suara itu. Bahkan aku sangat merindukannya. Aku berbalik.

“Susanti!” Aku tidak percaya apa yang aku lihat saat itu. Aku seperti bermimpi. Tapi tidak. Ini kenyataan. Wanita yang kini tepat dua meter di depanku adalah Susanti. Ingin sekali aku bertanya kemana ia selama ini. Ingin sekali aku memeluknya. Tapi aku membatu. Aku belum bisa percaya apa yang kulihat.

“Iya, ini aku.” Ia meyakinkan bahwa yang berdiri di depanku memang benar adalah Susanti-ku. Susanti-ku yang dulu. 

Ia mengajakku duduk di atas pasir. Ia bercerita banyak. Selama satu tahun menghilang, akhirnya ia datang. Ya, ia datang meminta hatiku kembali. Hubungannya dengan laki-laki borjuis itu kandas juga. Sejujurnya aku sangat bahagia mendengarnya, tapi dari dalam hatiku, aku merasakan perlawanan yang begitu kuat. 

“Maaf Susanti, aku sudah mampu tanpamu. Aku sudah belajar banyak hal setelah kehilanganmu,” kataku.

“Dari matamu aku tahu kau masih mencintaiku. Iya, kan?” Air mata Susanti mulai terjatuh.

“Tidak. Semua sudah tertinggal di belakang, Sus. Every ending is a new beginning. Bagiku kepergianmu adalah akhir dari semuanya. Akhir yang menuntut aku untuk memulai hal baru dalam hidupku. Ya, hal baru, Sus. Dan itu tidak bersamamu. Aku tidak mencintaimu lagi.” Setengah mati aku melawan hatiku. Aku terpaksa berbohong kepadanya. Komitmenku untuk menepikan namanya dan memulai hal baru dalam hidupku harus kupertahankan. 

Aku segera berlalu. Meninggalkan Susanti yang masih menangis di atas pasir. Aku harus kuat melawan gejolak batinku. Mempertahankan komitmen adalah prinsip dan harga diri yang tak ternilai harganya. Lebih berharga daripada rinduku kepada Susanti. Aku benar-benar ingin memulai langkah yang baru. Meninggalkan jejak-jejak kenangan masa lalu meskipun aku …, aku masih mencintainya.


Komentar

Postingan Populer