#MahabbahRamadhan : IBU, AKU INGIN PENDAMPING SEPERTIMU

IBU, AKU INGIN PENDAMPING SEPERTIMU
Adakah pengorbanan yang lebih hebat dari perjuangan seorang wanita yang mempertaruhkan hidup dan matinya di atas ranjang persalinan? Tidak. Tidak akan pernah ada.

Ibu, sejak dalam kandungan engkau sudah terlalu sabar menjagaku. Engkau terlalu hati-hati memakan dan meminum sesuatu demi menjaga kesempurnaanku di janinmu. Katamu, wanita hamil tidak boleh sembarang mengkonsumsi sesuatu. Tidak baik untuk kandungannya. Ah, engkau Malaikat tak bersayap.

Selama sembilan bulan itu kau membawaku kemana pun engkau pergi. Aku tahu, andai saja janinmu bisa kau titip di saat kau hamil besar, engkau tidak akan pernah melakukannya. Engkau tidak akan membiarkan sesiapa pun menggangguku dalam kandunganmu. Dimana-mana kau mulai membanggakanku walaupun kau tak pernah tahu seperti apa rupaku kelak, seperti apa tingkahku nanti.

Sesaat setelah aku lahir ke dunia, engkau menangis. Tidak, Ibu. Tidak. Kau sedang tidak menangis menahan sakitnya melahirkanku, tapi itu adalah air mata bahagiamu menyambutku ketika dengan takzim ayah mengumandangkan adzan di telingaku. Kebahagiaanmu menutupi rasa sakit setelah berjuang melahirkanku. Rasa sakit yang tak terperikan itu tidak ada artinya bagimu setelah mendengar tangisan pertamaku. Padahal kata orang pintar, perjuangan wanita saat persalinan bagaikan perang di jalan Allah. Jika seorang wanita meninggal pada saat itu, maka dia tercatat mati dalam keadaan syahid. 

Ibu, engkaulah orang pertama yang mengajariku senyum. Iya, Ibu. Senyum. Senyum yang justeru sudah sangat jarang kuberikan padamu saat ini. Engkau pula orang pertama yang menyuapiku dengan sangat sabar. Hal yang tidak pernah kulakukan di saat engkau terbaring sakit. 

Ibu, engkaulah orang yang paling mengerti arti tangisanku. Paling mengerti ekspersi wajahku ketika tertekuk berlipat-lipat. Engkau segera mendekatiku dengan segala kehangatanmu. Membujukku hingga aku luluh dan tersenyum ketika dengan kasar kuhempaskan belaian tanganmu.
Ibu, tak terhitung kata “ah” yang kusampaikan padamu. Aku selalu saja membentakmu saat engkau hanya memerintahkan aku mengambil kayu bakar di belakang rumah atau sekedar memintaku memasukkan benang ke dalam jarum ketika diam-diam kau ingin menjahit pakaian sekolahku yang sedikit robek. Padahal engkau adalah orang yang selalu membelaku di depan Ayah. Bahkan tak jarang engkau berselisih dengan Ayah demi membela kenakalanku.

Ibu, sungguh tak terkira rasa banggaku ketika pada hari penerimaan raport aku mendapat peringkat satu di kelas. Aku dengan seluruh rasa kebanggaanku memperlihatkan nilai-nilai di dalam raportku. Aku lupa bahwa engkau adalah madrasah pertama dalam hidupku. Engkau adalah guru pertama yang mengajari huruf-huruf kebaikan padaku, tempatku menimba ilmu kehidupan, mengenal arti cita-cita, dan yang tak pernah kubanggakan.

Ibu, kini aku sudah besar. Aku malu menyebutnya dewasa karena sikapku kepadamu masih saja seperti itu. Sampai saat ini engkau tetap tempat terbaikku menceritakan lika-liku hidupku. Sering aku menceritakan ketika aku diam-diam jatuh hati kepada seorang wanita di sekolah atau di kampus. Kau mendengar dengan seluruh perasaan tanpa pernah takut bahwa posisimu mungkin saja bisa terganti. Tidak Ibu. Aku tahu engkau rela menukar apapun demi kebahagiaanku. 

Dan sering aku datang kepadamu menceritakan betapa enaknya masakan seorang temanku. Lagi lagi kau mendengarnya dengan penuh perasaan. Lalu dengan seluruh cinta kau membuatkanku es pisang ijo kesukaanku. Dan sekali lagi aku lupa bahwa dari ASI-mu lah makanan pertama yang aku nikmati. Aku tak pernah membanggakan masakanmu, Ibu. 

Ibu, di bulan Ramadhan kali ini aku sudah menjadi seorang sarjana. Kebanggaan tersendiri bagimu yang tidak pernah menyelesaikan pendidikan di tingkat paling dasar. Tahukah engkau Ibu, sentuhanmu ketika membangunkan aku untuk sahur hari ini masih sehangat dulu ketika pertama kali kau mengajariku untuk berpuasa. Sentuhan itu jauh lebih halus dari sutera manapun meski tanganmu begitu kasar akibat banting tulang di kebun bersama Ayah demi menyekolahkanku.

Ibu, aku sadar telah menghianati semua pengorbanan dan kasih sayang luhurmu. Aku mengabaikan bahwa pada dirimulah terdapat surgaku. Aku mengabaikan bahwa engkaulah orang yang menangis menyebut namaku dalam setiap doa-doa tulusmu kepada Ilahi.

Maafkan anakmu, Ibu. Maafkan.
Maafkan aku, Ibu. Di Ramadhan ini aku belum mampu memberimu apa-apa. Bahkan sekedar memberimu mukenah baru untuk lebaran aku belum bisa. Maafkan aku, Ibu. Aku berjanji lebaran tahun depan akan memberimu sesuatu meskipun tidak ada artinya jika disandingkan dengan tulusmu selama ini.

Ibu, Ibu, Ibu. Tahukah apa doaku saat akan kuakhiri tulisan ini? Senyumlah, Ibu. Aku berdoa agar kelak diberi pendamping sepertimu. Doakan pulalah aku wahai Ibu, agar nanti diberikan wanita yang setulus dirimu. 

LOVE U, MOM. 





Komentar

Postingan Populer