TULISAN YANG SEBENARNYA MENYAYANGI WANITA
Entah bagaimana saya akan memulai tulisan ini. Mungkin pembahasannya sensitif di kalangan banyak orang terutama wanita. Sebenarnya saya adalah orang yang “cuek” dengan urusan orang lain. Terserah orang-orang ingin berbuat apa di depan saya. Selama mereka tidak mengganggu ketenangan saya, sila berekspresi sebebas mungkin. Terserah. Entah mereka melakukan aksi jungkir-balik, jingkrak-jingkrak kesana-kemari atau salto-saltoan depan saya. Terserah.
Tulisan saya kali ini terinspirasi saat sedang mendengar ceramah tarwih seorang ustadz di masjid beberapa waktu lalu. Mungkin kurang lebih seperti ini kata-kata sang ustadz,
“Zaman memang aneh. Arus globalisasi benar-benar telah meracuni pikiran-pikiran kita hingga buntutnya sampai kepada cara orang berpenampilan. Di lingkungan kita saat ini, banyak kita temukan dara-dara yang berpenampilan “wow”. Bagaimana tidak, kain yang seharusnya menutupi bagian atas tubuh semakin hari posisinya semakin bergeser ke bawah. Pun kain yang seharusnya menutupi bagian bawah posisinya pun bergeser ke atas, sehingga kain penutup tubuh tersebut ketemunya di tengah-tengah.” Sang ustadz menarik nafas sejenak, lalu melanjutkan, “Saya heran, awalnya saya berpikir remaja-remaja tersebut hanya menggunakan handuk dengan style yang baru. Handuk yang dibuat menyerupai baju dan celana,” kelakarnya. Jamaah mulai tertawa.
“Wahai kaum wanita, saya ingin memberitahu sesuatu kepada kalian,” ustadz melanjutkan, “Asal kalian tahu saja, laki-laki pada hakikatnya memang mencari bagian yang tersembunyi dari tubuh kalian. Lah, tapi saat ini kalian sendiri yang seperti sengaja menonjolkannya. Memamerkannya dan menjualnya murah. Apa yang kalian banggakan dari setiap lekukan-lekukan pengundang syahwat itu? Apakah kalian tidak tahu bahwa setiap bagian tubuh kelak akan dimintai pertanggung jawabannya? Ah, kalian pasti tahu. Hanya saja pura-pura tidak tahu. Iya, toh?”
Wah, wah, wah. Apa yang disampaikan oleh sang ustadz seketika membuat saya tersentak. Membawa saya pada sepanjang jalan di wilayah tempat tinggal saya. Wilayah yang mulai berkembang dengan penduduk yang semakin bertambah. Di sepanjang jalan setiap sore saya sering menemukan banyak wanita yang berpenampilan “wow” seperti yang dikatakan ustadz tersebut. Oke lah, dalam Islam pandangan pertama tidak apa-apa jika dengan secepatnya mata bisa menghindar. Tapi bagaimana dengan pandangan-pandangan berikutnya kepada wanita berbeda? Karena penampakan seperti itu bukan hanya satu, tapi banyak. Banyak sekali. Bagaimana mata bisa menghindarinya? Haruskah saya menunduk sepanjang perjalanan? Wah, resikonya bisa fatal, kan?
Laki-laki mana pun akan terpancing. Ya, mengertilah apanya yang terpancing. Apatah lagi laki-laki yang imannya masih gemulai seperti saya ini. Disenggol sedikit saja, maka imannya akan membengkok. Laki-laki yang sudah mencoba untuk istiqomah darah mudanya akan berdesir hebat. Maaf, maka jangan salahkan jika banyak kasus pelecehan-pelecehan seksual dimana-mana. Toh, tidak ada asap jika tak ada api.
Baiklah, keinginan saya tidak muluk-muluk, kok. Saya bukan ustadz yang ingin menggurui apalagi menceramahi wanita-wanita yang masih berpenampilan “wow” tersebut. Tidak. Jika belum mampu —dengan beribu-ribu alasan ini-itu— menggunakan hijab secara syar’i, setidaknya pakailah pakaian yang sewajarnya. Pakaian yang bisa membenamkan syahwat kaum laki-laki. Pakaian yang tidak menampakkan lekukan demi lekukan “aduhai”. Tapi jika ingin berhijab secara syar’i, ya, lebih bagus lagi. Jika dengan alasan hidayah tak kunjung datang, maka ingat, sejatinya hidayah itu tidak ditunggu tapi dijemput.
Baiklah, mungkin saya harus mengakhiri sampai disini saja tulisan saya kali ini sebelum terlanjur dicap menggurui atau menceramahi. Sedikit tapi setidaknya meninggalkan sesuatu yang patut direnungkan, apalagi masalah yang saya bahas dilihat langsung dari kacamata seorang laki-laki.
Maaf, —jika suatu saat ada yang membaca— tulisan ini tidak pernah bermaksud untuk menyentil kaum hawa manapun. Justeru sebaliknya, tulisan ini adalah bentuk perhatian kepada semua wanita.
“Mari berbenah, toh tak ada satu pun makhluk yang abadi di dunia ini”
Tulisan saya kali ini terinspirasi saat sedang mendengar ceramah tarwih seorang ustadz di masjid beberapa waktu lalu. Mungkin kurang lebih seperti ini kata-kata sang ustadz,
“Zaman memang aneh. Arus globalisasi benar-benar telah meracuni pikiran-pikiran kita hingga buntutnya sampai kepada cara orang berpenampilan. Di lingkungan kita saat ini, banyak kita temukan dara-dara yang berpenampilan “wow”. Bagaimana tidak, kain yang seharusnya menutupi bagian atas tubuh semakin hari posisinya semakin bergeser ke bawah. Pun kain yang seharusnya menutupi bagian bawah posisinya pun bergeser ke atas, sehingga kain penutup tubuh tersebut ketemunya di tengah-tengah.” Sang ustadz menarik nafas sejenak, lalu melanjutkan, “Saya heran, awalnya saya berpikir remaja-remaja tersebut hanya menggunakan handuk dengan style yang baru. Handuk yang dibuat menyerupai baju dan celana,” kelakarnya. Jamaah mulai tertawa.
“Wahai kaum wanita, saya ingin memberitahu sesuatu kepada kalian,” ustadz melanjutkan, “Asal kalian tahu saja, laki-laki pada hakikatnya memang mencari bagian yang tersembunyi dari tubuh kalian. Lah, tapi saat ini kalian sendiri yang seperti sengaja menonjolkannya. Memamerkannya dan menjualnya murah. Apa yang kalian banggakan dari setiap lekukan-lekukan pengundang syahwat itu? Apakah kalian tidak tahu bahwa setiap bagian tubuh kelak akan dimintai pertanggung jawabannya? Ah, kalian pasti tahu. Hanya saja pura-pura tidak tahu. Iya, toh?”
Wah, wah, wah. Apa yang disampaikan oleh sang ustadz seketika membuat saya tersentak. Membawa saya pada sepanjang jalan di wilayah tempat tinggal saya. Wilayah yang mulai berkembang dengan penduduk yang semakin bertambah. Di sepanjang jalan setiap sore saya sering menemukan banyak wanita yang berpenampilan “wow” seperti yang dikatakan ustadz tersebut. Oke lah, dalam Islam pandangan pertama tidak apa-apa jika dengan secepatnya mata bisa menghindar. Tapi bagaimana dengan pandangan-pandangan berikutnya kepada wanita berbeda? Karena penampakan seperti itu bukan hanya satu, tapi banyak. Banyak sekali. Bagaimana mata bisa menghindarinya? Haruskah saya menunduk sepanjang perjalanan? Wah, resikonya bisa fatal, kan?
Laki-laki mana pun akan terpancing. Ya, mengertilah apanya yang terpancing. Apatah lagi laki-laki yang imannya masih gemulai seperti saya ini. Disenggol sedikit saja, maka imannya akan membengkok. Laki-laki yang sudah mencoba untuk istiqomah darah mudanya akan berdesir hebat. Maaf, maka jangan salahkan jika banyak kasus pelecehan-pelecehan seksual dimana-mana. Toh, tidak ada asap jika tak ada api.
Baiklah, keinginan saya tidak muluk-muluk, kok. Saya bukan ustadz yang ingin menggurui apalagi menceramahi wanita-wanita yang masih berpenampilan “wow” tersebut. Tidak. Jika belum mampu —dengan beribu-ribu alasan ini-itu— menggunakan hijab secara syar’i, setidaknya pakailah pakaian yang sewajarnya. Pakaian yang bisa membenamkan syahwat kaum laki-laki. Pakaian yang tidak menampakkan lekukan demi lekukan “aduhai”. Tapi jika ingin berhijab secara syar’i, ya, lebih bagus lagi. Jika dengan alasan hidayah tak kunjung datang, maka ingat, sejatinya hidayah itu tidak ditunggu tapi dijemput.
Baiklah, mungkin saya harus mengakhiri sampai disini saja tulisan saya kali ini sebelum terlanjur dicap menggurui atau menceramahi. Sedikit tapi setidaknya meninggalkan sesuatu yang patut direnungkan, apalagi masalah yang saya bahas dilihat langsung dari kacamata seorang laki-laki.
Maaf, —jika suatu saat ada yang membaca— tulisan ini tidak pernah bermaksud untuk menyentil kaum hawa manapun. Justeru sebaliknya, tulisan ini adalah bentuk perhatian kepada semua wanita.
“Mari berbenah, toh tak ada satu pun makhluk yang abadi di dunia ini”
Komentar
Posting Komentar