EDELWEIS DAN KENANGAN YANG ABADI

  EDELWEIS DAN KENANGAN YANG ABADI
Bagiku hidup adalah perjalanan. Perjalanan yang membawaku menikmati keindahan-keindahan alam yang ada di dunia dalam setiap jejak-jejak petualanganku. Aku telah bertualang ke beberapa tempat yang masyhur di nusantara. Di tempat-tempat itu aku menemukan kepingan-kepingan surga yang terpisah dari tujuh surga di langit sana.
Sebenarnya aku jatuh cinta dengan dunia petualang sejak semester awal kuliah dulu. Tempat pertama yang aku kunjungi saat itu adalah Bali. Sebagai orang Makassar, Bali merupakan destinasi favorit. Jarak ke Bali pun tidaklah jauh yang juga berpengaruh terhadap ongkos yang harus dikeluarkan.
Sejak saat itu, aku terobsesi untuk mengunjungi tempat-tempat eksotik yang kaya akan keindahan di setiap wilayah di nusantara. Apalagi sejak itu, aku menemukan pasangan yang juga menyukai petualangan. Namanya adalah Imelda. Kami berkenalan saat kami sama-sama liburan di Bali waktu itu. Aku percaya tidak ada sesuatu yang terjadi karena kebetulan. Setiap kejadian adalah kehendak Tuhan. Dengan naluri lelaki, aku mendekatinya saat ia sedang berjemur di atas pasir indah Pantai Kuta. Aku tidak pernah menduga sebelumnya, ternyata ia juga adalah orang Makassar. Ia berkuliah di salah satu perguruan tinggi swasta di Makassar.
Akhirnya hobbi yang sama membuat kami semakin dekat sekembalinya dari Bali. Sebagai langkah awal petualangan kami, ia sering kuajak untuk menikmatu sunset di Pantai Losari setiap sore setelah jam kuliah selesai. Di sana kami bercerita banyak tentang keindahan tempat-tempat yang ada di negeri ini. Tepat di suatu senja yang sangat memesona, dikala matahari perlahan terjatuh di kaki barat, aku resmi mengaguminya. 
Ya, perasaan seperti itu sangatlah wajar untuk usiaku saat itu. Tapi aku memilih menahannya. Aku memilih diam karena aku tidak ingin jarak antara aku dengannya menjadi renggang. Aku tidak ingin menghancurkan rencana-rencana indah perjalanan yang akan kami lakukan setiap liburan semester. Kami telah merencanakan untuk mengunjungi tempat-tempat indah di Sulawesi dan Indonesia. 
Akhirnya liburan semester itu pun tiba. Karena masih mengandalkan sokongan dana dari orang tua, kami memilih untuk mengunjungi Pulau Samalona yang masih dalam wilayah Kota Makassar. Tapi jangan pernah tanyakan bagaimana keindahannya. Ukurannya yang sangat mungil mampu menghipnotis siapapun yang mengunjunginya. Dengan waktu tempuh kurang lebih setengah jam dari dermaga di Makassar, kami pun tiba di Pulau Samalona. Disambut pasir putih yang sangat memukau, Imelda berteriak girang. Perjalanan pertama ini kami lakukan hanya berdua saja. Aku tidak mengerti mengapa ia begitu yakin dan percaya padaku. “Kamu itu sudah lebih dari teman untukku, jadi aku percaya kamu tidak bakalan macam-macam padaku sekalipun kita cuma berdua saja.” Seperti itu yang ia katakan sebelum kami berangkat pada waktu itu. Kata ‘lebih dari teman’ sempat melambungkan harapanku. Tapi kucoba untuk menikamnya karena aku melihat tidak ada cahaya seperti cahaya yang kukeluarkan tiap memandangnya. Mungkin maksudnya adalah, ”Kamu sudah aku anggap saudara sendiri”.
Kami menghabiskan waktu selama tiga hari di pulau itu. Aku menemukan kebahagiaan di wajah Imelda setiap kali ia berenang di tepi pantai. Sesekali ia mengajakku membuat istana pasir bersama. Istana pasir kami selalu megah, semegah perasaan yang kupendam kepadanya. Andai saja aku bisa menyelami hatinya seperti menyelami jernihnya air di perairan Pulau Samalona, maka akan kupastikan apakah ada namaku atau tidak di hatinya.
Setiap pagi dan sore kami mengelilingi pulau kecil itu. Berjalan beriring berdua bagaikan sepasang kekasih. Ah, setidaknya jarak seperti ini membuatku merasakan sensasi rasa yang begitu sulit kugambarkan. Di sana kami bebas menikmati sunset setiap sore. Ia selalu berbisik di telingaku ketika jingga merajai langit, “Bagian ini akan aku ceritakan kepada anak-anakku kelak.” Aku pun membalasnya dalam hati, “Dan aku berharap aku pun ada di sampingmu saat kau menceritakan semua itu.”
Tiga hari di pulau eksotis Samalona terasa singkat bersamanya. Perjalanan pertama kami akhirnya tertunaikan. Selama seminggu setelah kembali, cerita tentang Samalona selalu memenuhi pertemuan kami. Katanya ia sangat berbahagia melancong ke pulau seberang bersamaku. Dengan menatap matanya yang teduh, kujanjikan sesuatu kepadanya, “Liburan semester tahun depan kita ke Labuan Bajo. Biaya perjalanan aku yang tanggung semuanya.” Seketika ia pun kaget. Ia menghentikan tegukan es teh manisnya. Aku pun sebenarya heran, bagaimana aku bisa menjanjikan rencana besar itu kepadanya? Darimana aku bisa mengumpulkan uang sebanyak itu? tapi percayalah Kawan, menatap bola mata indah wanita yang kau sayangi selalu membuatmu melakukan hal-hal yang gila.
***
Setelah kujanjikan perjalanan itu kepada Imelda, akhirnya aku menemukan cara untuk mengumpulkan rupiah demi rupiah. Aku memutuskan bekerja part time di sebuah tempat karaoke di Makassar. Aku bekerja saat malam agar tidak mengganggu waktu kuliahku di siang hari. Aku tidak ingin kuliahku berantakan karena aku menyimpan rencana besar setelah lulus kuliah dan bekerja nanti. Aku ingin mengajak Imelda bertualang bukan hanya di tempat-tempat di Indonesia, tapi juga di negeri lain. Selain bekerja di tempat karaoke aku pun sesekali membantu ayahku di toko miliknya. Ayah selalu memberi bonus lebih.
Aku bekerja penuh semangat. Setiap lelah, aku membayangkan perjalanan yang sangat mengagumkan di Labuan Bajo bersama Imelda. Setiap malam ia selalu menyemangatiku. Hingga pada suatu malam aku benar-benar dibuat melayang olehnya. 
HP-ku berdering. Kubuka, ada pesan singkat dari Imelda,
“Semangat ya! Sebenarnya aku merasa tidak enak kamu rela melakukan semua ini demi janjimu padaku.” Aku tersenyum, lalu kubalas,
“Tidak apa-apa kok. Ini baru permulaan, loh.” Selang beberapa menit, ia membalasnya.
“Memangnya setelah ini, mau ngajak aku kemana lagi?” Dengan cepat kutekan satu persatu huruf di keyboard HP-ku,
“Nanti tidak surprise kalau akau katakan sekarang.” Dan inilah jawaban pamungkasnya yang mampu menggetarkan hatiku,
“Mau ajak ke pelaminan, ya? Hehehe.” Wow! Aku benar-benar melayang membaca pesan singkatnya. Tanganku bergetar. Bukankah pertanyaan itu adalah tujuan akhir perjalananku bersamanya meski hanya dalam anganku? Apakah ia juga merasakan sesuatu seperti yang aku rasakan? Belum sempat kubalas pesan singkatnya, sekali lagi HP-ku berdering. Kubuka. Sebuah pesan singkat darinya, “Jangan dipikir, ya. Nanti tidak fokus kerjanya. Maaf, bercanda malam-malam buta. Hehe.”
Sekalipun ia menganggap hal itu hanya candaan, setidaknya malam itu membuat segalanya semakin indah. Bahkan suara cempreng dari pengunjung tempat karaoke ini yang kudengar setiap kali aku membawa pesanan minuman atau makanan ke ruangan mereka berubah menjadi sangat merdu. Seakan ikut merayakan riangnya hatiku.
Akhirnya liburan semester pun tiba. Uang hasil kerja part time yang kukumpulkan pun kurasa sudah cukup. Sebenarnya Imelda pun membawa uang sendiri tapi aku melarang ia mengeluarkan sepeser pun uang miliknya untuk perjalanan ke Labuan Bajo.
Hari itu, dengan menggunakan pesawat terbang kami berdua bertolak dari Makassar menuju Labuan Bajo, Nusa Tenggara Timur. Setibanya di sana tidak ada yang bisa aku ucapkan selain ucapan memuji keagungan Sang Pencipta. Inilah yang kusebut salah satu surga yang terpisah dari surga di langit sana. Tak dapat kujelaskan bagaimana bergetarnya hatiku melihat eksotiknya Labuan Bajo. Bahkan beberapa kali kulihat air mata Imelda terjatuh ketika memuji Tuhan akan indahnya ciptaanNya itu.
Rasa lelah setelah bekerja banting tulang di Makassar akhirnya hilang sudah melihat langsung ciptaan yang sangat mengagumkan itu. Rasa bahagia itu menjadi berlipat karena aku sudah mampu membuat Imelda merasakan kebahagiaan yang tiada taranya.
Waktu kami di Labuan Bajo selama tujuh hari. Maka setiap waktu kami manfaatkan sebaik-baiknya. Banyak destinasi pilihan di Labuan Bajo. Kami mengunjungi Loh Buaya di Pulau Rinca dan juga Loh Liang di Pulau Komodo. Di tempat itu kami dapat melihat langsung komodo yang ukurannya sangat besar. Di atas bukit di Pulau Rinca kami melihat keindahan hutan dan laut yang biru sepanjang mata memandang.
Di Pulau Bidadari kami snorkeling menikmati indahnya biota laut yang menghampar menakjubkan. Kulihat wajah Imelda yang tetap cantik di bawah air. Di dalam air aku mengatakan bahwa betapa aku bahagia dengannya. Sayangnya, ia tidak bisa mendengarnya. Mungkin nanti aku akan mengatakan langsung kepadanya.
Salah satu pulau kecil yang membuat Imelda terkesan adalah Pulau Kanawa. Di pulau itu terdapat bukit tempat dimana mata dimanjakan untuk melihat pemandangan Labuan Bajo yang penuh keindahan. Di atas bukit itu pula kami menyaksikan sunset yang memesona di saat senja seperti di Pantai Losari. Dan seperti biasa, ia membisikkan kalimat seperti saat menikmati senja di Pantai Losari, “Bagian ini akan aku ceritakan kepada anak-anakku kelak.” Tapi saat itu ia memegang erat lenganku. Dan juga seperti biasa aku menjawabnya dalam hati. Hanya dalam hati, “Dan aku berharap aku pun ada di sampingmu saat kau menceritakan semua itu.”
Dan tempat terakhir sebelum kami kembali adalah Pink Beach. Ya, pantai yang berwarna merah muda karena merupakan campuran dari pasir putih dengan serpihan kerang dan juga kalsium karbonat dari invertebrata laut yang berukuran sangat kecil. Pesona itu menghadirkan nuansa romantik. Imelda tidak henti-hentinya bersorak riang sambil mengabadikannya dengan kamera yang ia pegang. Sesekali ia meminta pengunjung lain untuk mengambil gambar kami berdua. Jangan tanyakan bagaimana getaran hatiku saat itu. Hampir saja aku mengungkapkan keluh kesahku atas perasaan yang selama ini kupendam kepadanya.
Perjalanan selama seminggu di Labuan Bajo sungguh sangat berkesan. Jika dahulu setelah kembali dari Pulau Samalona kami terus membiacarakan tentang pulau itu selama seminggu, maka setelah dari Labuan Bajo entah berapa lama waktu yang kami habiskan untuk menceritakan kembali perjalan mengasyikkan itu. Sering sekali ia memamerkan foto-foto waktu di Labuan Bajo yang sudah ia pindahkan ke notebooknya. Sampai pada foto kami berdua di Pink Beach, ia berhenti sebentar lalu tersenyum sangat manis kepadaku, “Serasi, ya?” ucapnya tanpa beban. Ia tidak tahu betapa terperanjatnya aku saat itu. Hatiku pun diselimuti pertanyan-pertanyaan gila. Apakah ia juga merasakan apa yang akau rasakan? Apakah ia akan menerimaku menjadi kekasihnya jika aku ungkapkan sekarang? Ah, sisa-sisa kesadaranku membuatku terbangun dari pertanyaan-pertanyaan bodoh itu.
***
Setelah dari Labuan Bajo, masih tersisa beberapa liburan semester selama kuliah yang kami habiskan untuk perjalanan ke tempat-tempat yang mahsyur di Indonesia. Aku tetap bekerja part time. Perjalanan selanjutnya adalah Wakatobi di Sulawesi Tenggara, Raja Ampat di Papua, Danau Matana di Kabupaten Luwu Timur, Sulawesi Selatan, serta beberapa tempat indah lainnya di wilayah Sulawesi Selatan. 
Tapi saat menjelang akhir kuliah kami berhenti sejenak dan fokus masing-masing ke tugas akhir kuliah kami. Tapi tidak untuk kebersamaan-kebersamaan kami. Kami tetap saling bertemu menyaksikan sunset di Pantai Losari.
Waktu berlalu, ketukan detik demi detik pun kian berlalu. Akhirnya kami menyelesaikan kuliah masing-masing. Dalam waktu yang tidak lama kami diterima bekerja di kantor yang berbeda. Pekerjaan yang menyita waktu kami masing-masing sepertinya menghentikan kegiatan perjalanan kami. Sampai pada waktu dimana aku mencari celah dan mencocok-cocokkan waktu kosongku dengan Imelda. Aku rindu perjalanan yang mengasyikkan dengannya. Perjalanan yang telah menumbuh kembangkan benih-benih cintaku padanya hingga mekar sampai detik ini. 
Akhirnya akhir tahun 2014 adalah waktu paling baik untuk kami berdua. Aku pun mengajaknya ke suatu tempat dimana berjuta hati telah bersatu dalam janji-janji setia.
 Di tempat itu aku akan memintanya bukan untuk sekedar menjadi kekasih biasa, tapi aku akan memintanya untuk menjadi pendamping hidupku. Aku akan melamarnya. Rencana ini adalah rencana paling gila yang kubuat. Terserah, apakah ia akan menerima atau tidak. Aku tidak peduli lagi. Kami bukan lagi ABG yang ketika ditolak akan merenggangkan jarak. Aku hanya ingin mengatakan perasaanku selama ini padanya. Kalau pun ia menolak, aku tetap bisa bersahabat dengannya. 
Aku menemuinya di sebuah tempat makan dekat kantor ia bekerja. Di sana kami sudah berjanji akan bertemu. Tanpa basa-basi, aku pun langsung kepada tujuanku mengajaknya ke suatu tempat.
“Imel, sudah lama kita tidak berpetualang bersama. Kali ini aku ingin mengajakmu ke Paris.” Kontan orang yang kuajak terperanjat kaget. Ia tidak menyangkanya seperti waktu aku ajak ia ke Labuan Bajo tempo hari.
“Apa? Serius?”
“Iya, serius. Kita akan berangkat minggu depan. Berdua. Semua biaya aku yang tanggung.” Sejenak sepi. Ini bukan merupakan pertanda buruk. Kudapati air matanya membasahi wajahnya yang semakin cantik dari tujuh tahun yang lalu saat pertama kali bertemu di Bali. Ia kemudian menatapku dalam dan sangat lama. Bibirnya bergetar.
“Ini kali keduanya kau memberi kejutan dengan sangat tiba-tiba. Aku sangat berbahagia. Belum ada satupun laki-laki yang bisa memberikan semua ini untukku setelah ayahku. Aku merasa sangat istimewa untukmu. Terima kasih.” Mentari bahagia itu kudapat di matanya.
***
Perjalanan ke Paris pun akhirnya tiba. Akhir tahun yang sangat memukau bagiku. Di depan Menara Eifel pada malam yang sangat indah kukatakan semua padanya.
“Imelda,” kataku padanya yang sedang tersenyum manis menatap puncak Eifel. Ia lalu memalingkan pandangannya padaku. “Aku ingin mengatakan sesuatu yang sudah lama aku pendam. Sejak beberapa minggu dari Bali, di saat kita menikmati senja di Pantai Losari, aku… aku… aku jatuh cinta padamu. Maaf, aku jatuh cinta padamu, Imelda.” Dengan keberanian yang kukumpulkan satu per satu selama kurang lebih tujuh tahun, akhirnya kukatakan juga padanya. Aku menundukkan kepala setelah mengatakan semua itu. Aku tidak bisa menebak bagaimana ekspresi wajahku saat itu.
“Rif, kamu adalah laki-laki yang selalu memberi kejutan untukku. Ini adalah kejutan ketiga yang sangat mengagetkanku. Rif, kamu adalah orang yang telah membuatku melihat keindahan demi keindahan negeri kita yang tersebar di tanah air. Kamu telah membuatku jatuh cinta pada negeri kita sendiri. Setiap tempat yang kita datangi membuatku tersadar betapa Maha KuasaNya Sang Pencipta. Dan tahukah kamu, kamu adalah laki-laki pertama yang membuatku jatuh cinta.” Demi mendengar kalimat terakhir Imelda, aku spontan mengangkat pandanganku, menatapnya heran penuh pertanyaan. Tidak sabar ingin mendengar maksud ucapannya barusan. 
“Maksudmu, Imelda?”
“Aku juga punya perasaan seperti yang kau rasakan. Apakah ini seperti tawaranmu untuk menikahiku?” Sungguh, pertanyaannya semakin membuatku kembali melayang.
“Iya, jadi kamu mau menikah denganku?” Aku tidak sabar menunggu jawabannya.
“Bagaimana , ya?” Imelda sepertinya sedang berpikir. “Aku akan memberi jawabanku dengan syarat kau membawaku mendaki Gunung Bawakaraeng. Di atas puncaknya, aku ingin kau mengulang pertanyaanmu itu tepat di dekat bunga edelweis, bunga abadi. Aku ingin mendaki menjadi petualangan yang sangat berkesan. Di sana aku ingin menikmati kembali keindahan alam negeri kita.” Imelda tersenyum manis sekali. Aku pun demikian. Akhirnya beban yang kupikul telah hilang walaupun ia belum menjawabnya dengan sempurna.
Maka, sepulangnya dari Paris aku kembali mencari waktu yang sangat tepat. Sebenarnya mendaki ke Gunung Bawakaraeng bisa dilakukan di akhir minggu saat liburan kantor. Gunung Bawakaraeng adalah surga bagi orang-orang yang ingin mendaki di Makassar. Banyak mahasiswa yang menghabiskan akhir pekan mereka mendaki gunung itu. Melepas penat selama seminggu di Kota Makassar yang penuh dengan berbagai masalahnya.
Maka kupilih minggu ketiga bulan Maret 2015. Aku sudah meminta persetujuan Imelda dan ia pun mengatakan iya untuk waktu itu. Ia sangat gembira. Ini adalah perjalanan pertama kami berdua ke gunung. Aku tidak takut tersesat karena akan banyak pendaki yang akan mendaki pada akhir minggu. Mereka bisa menjadi guide dadakan kami disana. 
Waktu itu pun tiba. Pagi buta aku menuju ke rumah Imelda. Perjalanan untuk sampai ke Desa Lembanna, desa terakhir di kaki gunung Bawakaraeng memakan waktu kurang lebih tiga jam dari Kota Makassar. Maka kuperkirakan bisa sampai disana pada pukul delapan, sebelum para pendaki memulai perjalanannya. 
Dan tepat sebelum para pendaki hendak menaklukkan puncak Bawakaraeng hari itu, kami pun tiba di desa terakhir. Aku pun akhirnya ikut pada rombongan KPA (Kelompok Pecinta Alam) dari salah satu perguruan tinggi di Makassar. 
“Sendiri aja, Kak?” tanya salah seorang diantara mereka.
“Ini berdua, kok.” jawabku pendek. Imelda tersenyum sangat manis di sampingku. 
Sepanjang perjalanan, para pendaki dari KPA tadi sepertinya heran melihat kami. Entah apa yang membuat mereka heran. Mungkin mereka heran melihat perjalanan kami yang hanya berdua saja. Sesekali kulihat mereka berbisik sambil menatapku.
Gunung Bawakaraeng memiliki sepuluh pos sampai ke puncaknya. Di setiap pos itu para pendaki beristirahat sejenak. Aku dan Imelda pun berhenti sejenak ketika para rombongan itu berhenti. Perjalanan sungguh sangat melelahkan. Kulihat keringat Imelda mulai bercucuran. Aku mengahapus keringatnya dan saat itu para rombongan KPA pun semuanya menatap penuh pertanyaan. 
Perjalanan sudah enam jam lebih tepatnya pada saat di Pos 9. Di sinilah terdapat hamparan edelweis, sang bunga abadi. 
Maka disinilah akan kuungkapkan kembali pertanyaan dan permintaanku kepada Imelda. Ia masih tersenyum manis. Di tempat ini aku akan menyatakannya dan tepatnya nanti pada saat di puncak akan aku teriakkan namanya. 
“Imel, apakah kamu bersedia menikah denganku?” tanyaku tepat di tengah-tengah bunga edelweis. Imelda hanya tersenyum. Manis sekali.
“Kak, kakak bicara dengan siapa?” Tanya salah seorang rombongan KPA. Pertanyaannya kali ini membuatku tersadar. Membuatku seperti bangun dari mimpi-mimpiku di tengah malam yang paling buta. Aku melihat sekeliling. Tak ada Imelda di sini. Tak ada. 
Aku baru sadar ternyata perjalananku pagi buta dari Makassar hanyalah sendiri. Tidak ada Imelda yang duduk tersenyum manis di sampingku di jok depan mobil. Air mataku mulai terjatuh. Perlahan, peristiwa seminggu yang lalu kembali berlalu lalang di depan mataku. Menyiksaku diantara bunga abadi.
“Kak, ada apa? Sejak sebelum kita berangkat, kakak berbicara sendiri, tersenyum sendiri.” Pertanyaan itu kuabaikan.
Hatiku sesak. Sesak sekali. Seminggu yang lalu tepatnya setelah Imelda pulang dari kantor ia mengalami kecelakaan di jalan tol. Ia menghembuskan nafas terakhirnya di tempat itu. Ia berpulang dengan senyum yang manis di wajahnya.
Ia pergi sebelum kubawa di tempat bunga edelweis tumbuh. Kuraih sesuatu di saku celanaku. Selembar kertas yang berisi tulisan tinta hitam. Kertas yang ada di pegangan Imelda saat ia kecelakaan.
“Rif, kamu mebawa aku diantara bunga edelweiss ataupun tidak, sama sekali tidak akan mengubah satu kata pun jawabanku untukmu. Aku selalu siap untuk menjadi pendampingmu. Aku hanya ingin kamu bawa ke tempat dimana bunga abadi itu tumbuh sambil melihat sunset disana. Aku hanya ingin mengucapkan kekagumanku atas kekuasaan Tuhan di samping orang yang sebenarnya sudah kukagumi pula pada saat menyaksikan sunset di Pantai Losari tempo hari.” Kertas itu terjatuh dari tanganku.
Dengan segala hormatku kepada alam. Dengan segala maafku kepada orang-orang yang melarang memetik setangkai pun bunga edelweis, izinkan aku memetik setangkai saja bunga abadi ini. Hanya setangkai saja untuk kuletakkan di atas pusara wanita yang terlalu aku sayangi. Wanita yang telah menemani setiap perjalananku untuk menyaksikan langsung keindahan surga di negeri ini. Biarkan bunga abadi ini seabadi kenanganku tentangnya.

Blog post ini dibuat dalam rangka mengikuti Kompetisi Menulis Cerpen “Awesome Journey” Diselenggarakan oleh Yayasan Kehati dan NulisBuku.com


Komentar

Postingan Populer