MAAF, AKU MENGINGATMU LAGI
MAAF, AKU MENGINGATMU LAGI
Apakah kau masih ingat pada sesuatu yang terjadi lima tahun lalu? Ah, sebenarnya aku telah berusaha untuk menepikan ingatan itu. Aku telah menyimpannya rapat-rapat dalam peti kenanganku. Tapi entah mengapa peti itu perlahan terbuka. Jangan tanyakan. Aku pun tak tahu.
Tapi percayalah aku tid ak akan menghampirimu lagi. Kenangan ini menghangat untuk sesaat saja. Yakinlah. Aku hanya ingin mengenang sedikit banyak perasaanku pada saat itu. Hanya itu.
Masih terekam jelas di dalam ingatanku saat-saat manis itu. Ah, sebenarnya tidaklah manis. Kala itu untuk pertama kalinya aku menginjakkan kaki di sebuah kota metropolitan di timur Indonesia. Aku berada di kota itu untuk mengikuti tes SNMPTN. Dan saat itu kau sudah berada di penghujung semester dua-mu di sebuah unversitas di kota itu. Di kota itu aku numpang di kontrakan sepupuku —kontrakan tempatmu juga tinggal. Sebenarnya kontrakan itu khusus untuk perempuan tapi aku tidak punya famili lain yang bisa kutumpangi. Akhirnya dengan permintaan sepupuku kepada pemilik kontrakan itu, aku diizinkan untuk numpang sampai semua kegiatanku selesai.
Di kontrakan itu ada puluhan perempuan tapi entah mengapa perasaanku jatuh kepadamu. Awalnya biasa-biasa saja, tapi entah mengapa ketukan detik demi detik memenjarakanku dalam perasaan yang tidak biasa. Aku jatuh hati padamu. Kau berbeda dengan penghuni kontrakan yang lain. Di wajahmu kutemukan keteduhan dan tutur katamu yang lembut mampu menghipnotisku. Akhirnya dengan “kenekatan” kuminta nomor handphonemu pada sepupuku. Apakah kau masih ingat ketika pertama kali aku mengirimkan pesan singkat kepadamu? Balasan darimu melambungkan anganku walaupun seadanya saja kau membalas pesan singkatku. Bagi lelaki itu adalah satu modal yang berharga, andai kau tahu. Sekalipun kau lebih senior dariku tapi sebenarnya umurku lebih tua setahun darimu. Namun panggilanku padamu tetap “Kak”. Masih ingat, kan?
Aku tidak berhenti sampai disitu. Aku terus “mendekatimu”. Apakah kau ingat bagaimana hubungan kita selanjutnya? Jawabannya adalah menghangat, kan? Kau tidak bisa mendustakan semua itu. Kau semakin merebut kepingan demi kepingan rasa kagumku. Kerlap-kerlip perasaanku jauh lebih indah dari lampu-lampu kota pada malam hari di saat itu.
Hingga pada satu kesempatan lewat pesan singkat yang kukirim padamu, aku mengungkapkan perasaan yang diam-diam kusimpan untukmu.
“Kak, aku suka sama kakak.” Setelah mengumpulkan keberanian akhirnya kukirim juga pesan singkat itu.
Selang beberapa menit kau membalas pesanku.
“Aku juga suka sama kamu…” Seperti itu jawabanmu. Maaf, apakah aku tidak melebihkan? Tapi memang seperti itulah kenyataannya. Tahukah kau bagaimana bahagianya hatiku saat itu. Betapa inginnya kuteriakkan namamu. Aku tak pernah menyangka seperti itu pula perasaanmu padaku. Sungguh tak pernah. Tapi di pesan singkat selanjutnya kau melengkapi pesan singkat sebelumnya.
“Aku suka sama kamu, tapi aku sudah punya pacar.” Ya, kurang lebih seperti itulah pesan singkatmu selanjutnya. Aku kaget? Sakit hati? Remuk? Atau galau? Atau ingin menghilang saja? Tidak. Tidak sama sekali. Sama sekali tidak karena aku sudah tahu semuanya dari sepupuku dan kakak-kakak penghuni kontrakan yang lain jauh hari sebelum aku diam-diam menikmati senyum manismu di kontrakan itu.
Saat itu aku memang tidak berharap untuk memilikimu. Tidak. Aku hanya ingin mengungkapkan perasaanku dan ingin tahu bagaimana responmu kepadaku. Tapi detik selanjutnya tak bisa kuingkari. Sungguh sangat tidak bisa, jika kau ingin tahu. Balasan perasaanmu terlanjur melambungkan anganku. Perlahan-lahan aku ingin sesuatu yang lebih. Ah, suatu kebodohan menurutku.
Aku telah berhasil mengguncang kesetiaanmu kepada pacar yang sudah bertahun-tahun bersamamu. Ingatkah pada satu malam di teras kontrakan kita duduk berdua. Aku yang memintamu untuk menemaniku dan kau memenuhi permintaan bodohku itu. Kita bercerita sambil berjaga-jaga jangan sampai pacarmu datang tiba-tiba. Sebenarnya ketakutan itu tidak kita ungkap tapi aku percaya di dalam hati kita masing-masing aku dan kau tidak menginginkan jika tiba-tiba saja ia datang menghancurkan kencan sederhana kita.
Waktu pun semakin berlalu, perasaan ingin memilikimu semakin menyiksaku. Tapi diluar dugaanku, kau perlahan-lahan menjauh. Awalnya kau pindah dari kontrakan itu. Aku tahu bukan aku alasan kepindahanmu. Semua sudah kau rencanakan jauh hari sebelum kau mengenalku tapi bagiku semua itu akan meredupkan hubungan kita. Sampai pada saat semua urusanku selesai di kota itu aku kembali ke kampungku. Kuliah perdanaku masih agak lama waktu itu. Baru akan dimulai setelah Ramadhan.
Jarak dan waktu pun memperlihatkan kekuasaannya. Ia membuat hubungan kita mencair. Komunikasi kita pun mulai tersendat. Jujur, di saat itu aku mulai sakit hati padamu. Kau terlalu jahat menurutku. Seakan-akan kau ingin mempermainkan perasaanku. Hal ini yang tidak pernah kupikirkan di saat aku terkena candu cintaku dahulu padamu.
Tapi apa yang harus kuperbuat? Membencimu tidak akan membuat semua masalah selesai. Tidak. Bahkan pada saat lebaran tahun itu kita hanya berkirim ucapan seadanya saja. Kau tiba-tiba menjadi orang lain bagiku. Perlahan aku merasa remuk. Sesakit itulah yang aku rasakan saat itu. Ya, sesakit itu jika kau ingin tahu.
Tapi pada malam-malam selanjutnya, akhirnya aku tersadar. Aku tersadar dari kebodohan yang telah kita lakukan bersama. Tepatnya aku yang menjerumuskanmu dalam hubungan yang tidak seharusnya ada. Di setiap malam aku memohon ampunan kepada Sang Pemilik Cinta. Dan aku juga meminta maaf kepadamu meski tak pernah kukatakan langsung padamu. Hanya pada angin kukirimkan permintaan maaf itu. Aku tidak ingin mengganggumu lagi, Kak.
Alhamdulillah, aku memupuk pemahamanku sedikit demi sedikit tentang cinta yang sesungguhnya. Ya, tentang cinta sejati. Aku telah banyak melakukan kesalahan dan kebodohan lima tahun yang lalu. Pertama, aku belum menemukan satu pun dalil yang menghalalkan hubungan pacaran yang sempat kuinginkan bersamamu dulu. Bahkan pacaran Islami hanyalah topeng yang digunakan setan untuk menghasut manusia. Dan kesalahan yang paling kusesali yaitu, aku telah mengajarimu cara berkhianat. Aku telah membuatmu menjadi orang yang membelakangi kesetiaan.
Tapi aku juga percaya bahwa kau mampu menghadapi masalah itu pada waktu itu. Kepergianmu secara perlahan-lahan kutahu adalah caramu untuk mempertahankan kesetiaan. Saat ini kepergianmu waktu itu bukan lagi hal yang jahat menurutku, tapi semua itu sudah kuanggap sebagai keberanianmu kembali untuk mempertahankan agungnya kesetiaan.
Terima kasih, kau telah mengajariku banyak hal berharga dalam hidupku. Mengajariku arti jatuh cinta, rasa sakit, sesak, kedewasaan, dan tentunya arti mempertahankan kesetiaan.
Maaf, aku mengingatnya lagi, Kak. Maaf.
Saatnya kukunci kembali peti kenanganku. Tempat dimana namamu akan kusimpan baik-baik sebagai wanita yang sangat berarti dalam hidupku.
Sekali lagi, Maaf, Kak.
*Juni, 2015.
**Yang tertulis belum tentu pernah terjadi.
Komentar
Posting Komentar