Jomblo: Musibah atau Anugerah

Pernah baca atau dengar ungkapan seperti ini?
“Di Indonesia ada 34 provinsi, ribuan pulau, 200 juta lebih penduduk, dan kau masih jomblo?
Atau,
“Hei, bumi itu luas dengan 7 milyar lebih penduduknya tapi kau masih tetap sendiri? Kasian.”
Atau bahkan seperti ini,
“Lubang hidung saja diciptakan berpasangan, masak kamu masih jomblo, sih? Miris.”
OK. Saya akan membahas tentang “Apakah jomblo itu musibah atau justeru anugerah?”
Sebelumnya, saya pernah membaca bahwa untuk tidak menyakitkan hati para jomblowers, kata jomblo bisa disamarkan menjadi “tuna asmara”. Lebih keren, kan? Kedengarannya pun lebih halus. Tapi artinya tetap sama; sendiri. *eh.
Apakah menjadi jomblo itu musibah atau anugerah? Baik, saya tidak bermaksud melakukan pembelaan kepada orang yang masih awet menjomblo tapi saya ingin menyampaikan masalah ini lewat pendekatan agama. Cie, agama! Iya, bagaimanapun juga —khususnya yang beragama Islam— agama adalah hal yang paling mendasari aturan tingkah laku kita. Kita melakukan shalat, sekalipun hanya sekali dalam satu minggu (shalat Jumat), atau bahkan dua kali setahun saja (shalat id), semua itu kita lakukan lantaran kita masih merasa beragama. Betul tidak? Sila berembuk dengan hati masing-masing saja.
OK, saya akan melanjutkan, jomblo itu anugerah atau musibah dalam pandangan agama. Sekali lagi, cie agama. Walaupun pemahaman kita tidak sesempurna AA Gym dalam memahami Islam, setidaknya karena agamalah kita masih bisa merasa berdosa ketika melakukan perbuatan yang tidak senonoh. Memandangi foto Aura Kasih, misalnya. 
Baiklah, saya benar-benar akan membahas tentang jomblo dalam perspektif Islam. Silakan tunjukkan kepada saya satu dalil dalam Al Quran dan hadits yang membenarkan hubungan berkasih sayang dengan lawan jenis yang bukan muhrim alias pacaran. Sampai ke Everest pun kita tidak akan mendapatkan sepotong dalil tentang pembenaran itu. Atau silakan bertanya kepada Raja Arab. Saya yakin jawabannya adalah, “Dari zaman neneknya Onta sampai turunannya yang entah ke berapa saat ini, kalian tidak akan mendapatkan dalil tentang itu sekalipun sampai gigi kalian berambut. Pulang sana ke Indonesia, tidak usah pacaran dulu. Lebih baik belajar baik-baik agar kalian bisa membuka lapangan pekerjaan untuk rakyat kalian. Apa telinga kalian tidak panas mendengar TKW Indonesia dianiaya majikannya ataupun dihukum mati disini?”
Sekali lagi, saya tidak membela kaum jomblo dan juga tidak bermaksud menjewer telinga muda-mudi yang sedang keracunan asmara bersama pasangannya. Saya hanya ingin menyampaikan pendapat saya. Saya bukan ustadz, loh. Harap dicatat! Tapi dalam agama Islam, untuk mendapatkan jodoh itu sudah ada aturannya yang sangat jelas. Saya mengerti hati kalian sedang berteriak menggunakan TOA, “Taarruf? Masih zamankah? Sekarang zaman demokrasi, bukan lagi zaman Siti Nurhaliza, eh, Siti Nurbaya”
Jawabannya, iya masih zamanlah taarrufan, keles. Ingat dan catat baik-baik. Yang kalian sebut zaman Siti Nurbaya dan taarruf itu beda jauh. Ya. Kira-kira jauhnya seperti kutub utara dan tanah Jawa. Maaf, sedikit kurang fokus. Ada A**a? eh….
Iya, untuk taaruf dan si Siti Nurbaya tidak sama. Taarruf adalah kegiatan bersilaturrahmi antara dua belah pihak dengan tujuan mencari jodoh. Kalau cocok ya dilanjut. Kalaupun tidak, ya cukup sampai disitu. Silakan cari yang lain tanpa harus pacaran. Nah. Kita bahas si Siti. Dulu, zaman Siti Nurbaya bisa dikatakan zaman dimana perjodohan dengan cara dipaksakan. Kata ya dan tidak bukan berada pada mulut dua orang yang hendak dijodohkan tapi tergantung pada kedua orang tua, ataupun buyut mereka yang sudah menjodohkan cucu mereka bahkan pada saat si cucu belum ada di dalam kandungan. Begitu.
Islam sangat tegas tidak membenarkan pacaran. Kalau sudah mampu secara lahir dan mati, eh maksudnya “lahir dan batin” apalagi yang mesti kita tunggu. Silakan menikah. Simple, kan? Kalau belum mampu, ya silakan menjomblo. Jadilah jomblo yang berkualitas. Jangan justeru menjadi jomblo ngenes, jomblo galau, atau jomblo tanpa harapan hidup. 
Jomblo yang berkualitas adalah pria/wanita yang memilih sendiri karena belum mampu secara lahir dan batin untuk menikah dan menghidupi satu keluarga. Dalam Islam, bagi laki-laki sudah sangat jelas anjurannya bagi yang belum mampu. Silakan terus mendekatkan diri kepada Sang Maha Cinta dan berpuasalah untuk menghindari tekanan-tekanan nafsu. Bukankah tekanan nafsu adalah sesuatu yang “wow” bagi laki-laki? Bagi wanita silakan terus menunggu dengan cara memantaskan diri. Allah akan memberikan orang baik bagi mereka yang juga terus memperbaiki diri. Saya rasa untuk paragraf ini kita semua sudah paham. Iya, kan? Lantas mengapa kita masih saja badung?
Jadilah jomblo yang berkualitas. Kita menjomblo lantaran kita ingin menjaga kehormatan perasaan kita. Kita terus berusaha menjadi orang baik karena menginginkan jodoh yang baik pula. Seseorang yang bisa berjalan bersama kita menuju Surga. Asik kan? Sudah dapat Surga dunia pun mendapat Surga di akhirat. Tidak usah pacaran. Banyak orang berpacaran yang sudah jungkir balik mengerahkan segala daya dan upaya serta mengorbankan segalanya, baik itu materi maupun rasa tapi belum tentu akan bersama. Ingat, walaupun kau mampu membelah gunung dengan tanganmu, mengeringkan laut dengan sedotan, kalau Allah tidak menghendaki kau bersama orang yang kau inginkan, maka kau tidak akan bersamanya. Ini masalah kehendak Allah, loh. Ingat, kehendak Allah jangan disepelekan. Sesekali jangan.
Menjadi jomblo yang berkualitas itu asik. Kita tidak perlu mengorbankan ini-itu kepada lawan jenis yang belum menjadi muhrim kita. Kita bisa bebas kemanapun, berteman dengan siapa saja dalam batasan yang ditentukan. Kita bisa tetap adem ayem ketika tengah malam buta teman kita yang berpacaran sedang berperang dengan pasangannya. Kita masih bisa menyeruput es teh manis dengan penuh kenikmatan di kantin kampus sambil mendengar curhatan teman yang sudah super galau bercampur air mata karena semalam baru saja diputuskan. Dan yang paling utama kita bisa menjauhi maksiat. Sesungguhnya maksiat dan zina itu akan menghalangi ilmu yang masuk ke pikiran kita. Seram, kan?
Wow! Masih merasa kejombloan kita adalah musibah? Bersyukurlah yang masih jomblo. Jika kemarin kita menjomblo lantaran gebetan kita disambar orang lain atau orang yang kita suka belum juga mau meleleh hatinya dengan rayuan kita, maka saat ini cepatlah ubah haluan. Niatkan dalam hati yang paling dalam, kita menjomblo karena kita memilih sepi dan terus memantaskan diri sampai Allah memberikan yang terbaik untuk kita. Percayalah, jika kita sudah memantaskan diri, maka Allah sendiri yang akan memilihkan yang pantas untuk kita. Kehormatan apalagi yang mampu mengalahkan ketika Allah sendiri yang memilihkan sesuatu untuk kita. Kehormatan itu jauh melebihi ketika Presiden mengundang kita ke istana. 
Oke, kesimpulannya adalah jomblo itu anugerah. Itu menurut saya. Sialakan berbeda pendapat. Kerena perbedaanlah yang bisa menyatukan kita. Eaa….
Saya ingin mengutip satu kalimat yang pernah saya dengar. Entah darimana saya mendengarnya, yang jelasnya bukan dari rumput yang bergoyang. Seperti ini, “Jomblo bukanlah nasib tapi jomblo adalah pilihan.” Ya, silakan memilih jalan menuju jodoh yang sebenarnya sudah sipersiapkan Allah di depan sana. Di depan gerbang kebahagiaan.
Sekian dan hatur terima kasih.
Wassalam.


Komentar

Postingan Populer